Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2022, 05:29 WIB
Vitorio Mantalean,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai bahwa upaya DPR RI mempercepat pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan upaya untuk mencegah preseden pada 2019 terulang.

Pada 2019, pengesahan RKUHP yang sudah di depan mata akhirnya ditunda karena masifnya gelombang unjuk rasa dari kalangan masyarakat sipil, termasuk di antaranya mahasiswa di seluruh daerah.

"Kelihatannya mereka mencegah jangan sampai ada gelombang penolakan lagi seperti demonstrasi 2019, jadinya dipercepat sebisa mungkin," kata Bivitri kepada wartawan, ditemui di bilangan Jakarta Pusat pada Minggu (4/12/2022).

Baca juga: Kritik Pasal Penghinaan Pemerintah di RKUHP, Pakar: Akan Buat Nyaman Presiden dan Semua Lembaga Negara

Pada Selasa (6/12/2022), DPR RI ditargetkan mengesahkan draf RKUHP di tingkat II, sebelum nantinya dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang.

Dewan memastikan, RKUHP akan menjadi undang-undang sebelum masa reses pada pertengahan Desember.

Di atas kertas, pengesahan draf rancangan undang-undang di tingkat II tidak akan bisa berubah lagi.

Bivitri menilai, tidak ada yang akan dapat menghentikan pengesahan RKUHP tahun ini, selain munculnya gelombang penolakan sebesar saat 2019.

Tanda-tanda penolakan dari kalangan masyarakat sipil itu dianggap sudah menguat sehingga membuat Dewan ingin segera mengesahkannya.

"Bahwa ini harus ditolak, memang harus dinyatakan. Kalaupun akibatnya DPR mempercepat (pengesahan), itu konsekuensi yang harus dihadapi sebagai proses politik," kata Bivitri.

Draf terbaru RKUHP hasil tindak lanjut Kementerian Hukum dan HAM bersama Komisi III DPR RI dianggap masih menyisakan sejumlah beleid bermasalah yang dapat mengancam kebebasan berekspresi.

Baca juga: Mahfud Sebut RUU KUHP Akan Disahkan pada Desember 2022

Dalam Pasal 240 RKUHP, misalnya, disampaikan bahwa setiap orang yang menghina pemerintah atau lembaga negara di muka umum bisa dipidana maksimal penjara 1 tahun dan 6 bulan.

Adapun yang dimaksud pemerintah adalah presiden yang dibantu wakil presiden dan para menterinya, sedangkan lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK).

Tindakan menghina diartikan sebagai "Perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara termasuk menista atau memfitnah".

Sementara itu, kritik didefinisikan "Sebisa mungkin bersifat konstruktif atau membangun walaupun mengandung ketidaksetujuan pada perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah, atau lembaga negara".

Bivitri menilai, definisi ini tak membuat beleid ini kehilangan unsur multitafsirnya. Pembuktiannya di pengadilan dianggap masih akan sengit.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Nasional
Dukungan ke Airlangga Mengalir saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan jadi Ketum Golkar

Dukungan ke Airlangga Mengalir saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan jadi Ketum Golkar

Nasional
Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Mulai Dibangun September Tahun Ini

Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Mulai Dibangun September Tahun Ini

Nasional
KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif 'Fee Proyek' yang Biasa Dipatok Ke Pengusaha

KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif "Fee Proyek" yang Biasa Dipatok Ke Pengusaha

Nasional
Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Nasional
Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Nasional
Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Nasional
RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

Nasional
Spanduk Seorang Ibu di Sumut Dirampas di Hadapan Jokowi, Istana Buka Suara

Spanduk Seorang Ibu di Sumut Dirampas di Hadapan Jokowi, Istana Buka Suara

Nasional
Jokowi dan Gibran Diisukan Masuk Golkar, Hasto Singgung Ada Jurang dengan PDI-P

Jokowi dan Gibran Diisukan Masuk Golkar, Hasto Singgung Ada Jurang dengan PDI-P

Nasional
Saat Jokowi Bertemu 2 Menteri PKB di Tengah Isu Hak Angket Kecurangan Pemilu...

Saat Jokowi Bertemu 2 Menteri PKB di Tengah Isu Hak Angket Kecurangan Pemilu...

Nasional
Sisa 4 Provinsi yang Belum Direkapitulasi, Sebelum KPU Tetapkan Hasil Pemilu 2024

Sisa 4 Provinsi yang Belum Direkapitulasi, Sebelum KPU Tetapkan Hasil Pemilu 2024

Nasional
Puncak Mudik Jatuh 5-7 Apriil 2024, 6 Ruas Tol Beroperasi Fungsional

Puncak Mudik Jatuh 5-7 Apriil 2024, 6 Ruas Tol Beroperasi Fungsional

Nasional
Respons Parpol KIM hingga Gibran Buntut Golkar Minta Jatah 5 Menteri

Respons Parpol KIM hingga Gibran Buntut Golkar Minta Jatah 5 Menteri

Nasional
Pemerintah Dianggap Kerdilkan Kondisi HAM di Indonesia Dalam Sidang Komite PBB

Pemerintah Dianggap Kerdilkan Kondisi HAM di Indonesia Dalam Sidang Komite PBB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com