JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil menilai, ada 12 aturan bermasalah dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru.
Berdasarkan keterangan yang diterima Kompas.com, Senin (5/12/2022), berikut sejumlah aturan bermasalah itu:
Koalisi menganggap pasal itu membuka celah penyalahgunaan hukum adat.
“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral, bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara (yakni) polisi, jaksa, dan hakim,” demikian keterangan itu.
Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM Minta Ada Pasal yang Dihapus dan Diperbaiki
Tak hanya itu, koalisi menganggap aturan itu mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan perda diskriminatif terhadap perempuan, dan kelompok rentan lainnya,” demikian isi keterangan itu.
Koalisi masyarakat sipil menilai aturan itu tak sesuai dengan hak hidup seseorang.
Padahal, banyak negara telah menghapuskan ketentuan hukuman mati dalam hukum pidananya.
Dalam RKUHP, dimuat larangan penyebaran paham tak sesuai Pancasila, seperti ideologi komunisme atau marxisme atau leninisme.
Koalisi menganggap frasa ini bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa.
Sebab, tak ada penjelasan rinci soal frasa “Paham yang bertentangan dengan Pancasila,”.
“Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet, dan menjadi pasal anti-demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata ‘penghinaan'" kata dia.
Baca juga: RKUHP Disahkan Besok, Komnas HAM: Saya Rasa DPR Paham Masih Banyak yang Tak Puas
Koalisi menganggap aturan itu bermasalah karena tak ada penjelasan detail tentang frasa “penegak hukum”.
Pemerintah dinilai tak menyertakan penjelasan terkait frasa “Hidup bersama sebagai suami istri”.
Pasal ini disebut bakal membuka celah persekusi dan pelanggaran ruang privat masyarakat.
Mestinya, pasal-pasal karet dalam UU ITE sepenuhnya dicabut dan tidak dimasukkan dalam RKUHP.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Larangan Unjuk Rasa dalam RKUHP Dievaluasi
Koalisi mendesak agar unjuk rasa tidak dikekang persoalan izin, tetapi diganti dengan pemberitahuan.
Koalisi menganggap unsur non-retroaktif dihilangkan.
Sebab, unsur tersebut membuat pelanggaran HAM berat masa lalu dan pelanggaran HAM berat masa kini yang ada sebelum RKUHP baru disahkan tak bisa diadili.
Adapun pasal soal kohabitasi dalam RKUHP dinilai bisa membuat korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku.
RKUHP dianggap memberikan ancaman pidana yang terlalu ringan dan tak memberikan efek jera pada koruptor.
Baca juga: Kontras Soroti Berkurangnya Hukuman Bagi Pelaku Pelanggaran HAM Berat di RKUHP
Koalisi berpandangan ada berbagai syarat dalam RKUHP yang membuat korporasi sulit dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana tertentu.
Sebaliknya, lebih mudah membebankan tanggung jawab pada pengurus korporasi.
“Ini justru rentan mengkritisi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi, dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan,” ujar koalisi.
“Pengaturan ini rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi,” kata koalisi masyarakat sipil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.