JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna meminta Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memperhatikan Undang-Undang Tentang Peradilan Militer.
Hal ini Agus sampaikan guna menanggapi perintah Majelis Hakim yang memerintahkan Jaka KPK menghadirkan dirinya sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi pembelian helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101.
“Ya, iya dong, semuanya kan harus saling (memperhatikan) begitu. Saya yakin kalau misalnya para orang hukum-hukum yang ini pasti ngerti lah,” kata Agus saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (29/11/2022).
Agus menilai pemanggilan dirinya sebagai saksi berdasarkan bukti yang tidak jelas.
"Sebaiknya nanti tanya jaksa yang asal bicara tanpa bukti data yang jelas, terlihat asal-asalan, sangat tidak profesional,” kata dia.
Kuasa hukum Agus, Pahrozi menilai dakwaan Jaksa tendensius. Dia menyoroti soal dugaan proyek heli AW-101 dikorupsi bersama-sama termasuk Agus, padahal tidak ada pernyataan yang menyebutkan Agus menerima langsung hasil korupsi itu.
“Indikator kedua dalam dakwaan tidak ada kata yang menyebutkan klien saya menerima uang,” kata Pahrozi.
Sebagai informasi, Agus telah dipanggil sebanyak dua kali sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Kedua pemanggilan itu dilakukan pada 21 dan 28 November.
Namun, Agus tidak hadir.
Baca juga: Di Sidang, Jaksa Ungkap Dana Komando Petinggi AU 4 Persen dari Cashback Beli Heli AW-101
Dalam persidangan terakhir, Ketua Majelis Hakim Djuyamto memerintahkan Jaksa KPK memanggil Agus dan prajurit TNI lain sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di depan hukum.
Menurut Djuyamto, jika pemanggilan tidak dilakukan dengan cara seperti itu maka pengadilan akan dianggap hanya bisa memaksa atau memanggil orang-orang yang tidak memiliki kedudukan
“Di sini jangan melihat siapa dia, semua warga negara ya, yang dipanggil itu semua warga negara tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain,” kata Djuyamto, Senin (28/11/2022).
Terkait hal ini, Agus membenarkan bahwa semua pihak terkait memang warga negara. Namun, kata dia, setiap warga negara memiliki aturan masing-masing.
Ia lantas menyinggung keberadaan Undan-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Ia meminta keberadaan produk hukum tiu dihargai.
“Masa undang-undang yang lebih dulu enggak dihargai, jangan-jangan undang-undang kita sudah keluar 97 KPK belum lahir,” ujarnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.