JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengakui bahwa hingga kini, belum ada aturan rigid terkait praktek politik uang.
Hal itu disampaikannya usai rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Dalam rapat itu, Bawaslu dicecar karena sejumlah politisi DPR menyoroti uang transportasi untuk tim sukses (timses) dianggap politik uang.
Awalnya, Bagja menyatakan bahwa pemegang kekuasaan membuat aturan penyelenggara Pemilu terkait standar uang transportasi adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Transportasi itu harus tugasnya KPU. PKPU menyusun standar transportasi dan akomodasi pada saat pelaksanaan kampanye, iya dong. Bawaslu tidak bisa berwenang untuk itu, karena itu diserahkan kepada KPU. Berapa sih standarnya?" kata Bagja saat ditemui, Selasa.
Baca juga: Tak Sepakat Uang Transport Timses Masuk Politik Uang, Anggota DPR: Perlu Dibedakan
Bagja kemudian menjelaskan bahwa dahulu aturannya, disebut politik uang jika uang transportasi senilai Rp 75.000.
Akan tetapi, nominal itu pun dinilai tidak sesuai dengan praktek di lapangan sehingga kemudian dikaji kembali.
"Sebesar Rp 75.000 kalau enggak salah. Sehingga kemudian apakah dalam bentuk uang? KPU bilang tidak dalam bentuk uang. Nah seperti apa? Ini kan tidak kemudian aplikatif di lapangan," jelasnya.
"Misalnya, Anda dikasih dalam bentuk, dikasih literan bensin, mungkin enggak? Kan enggak mungkin. Voucher? Kita di Jakarta dekat SPBU. Di daerah Sumatera jauh-jauh baru berapa kilometer ketemu SPBU. Nah itu kan tidak applicable di lapangan," lanjut dia.
Baca juga: Bawaslu Mengaku Optimistis Politik Uang Bisa Dibereskan, tapi...
Atas hal tersebut, Bagja menilai perlunya KPU dan Bawaslu duduk bersama menyusun aturan politik uang.
Menurut dia, setelah peraturan itu disusun dan ditetapkan, maka penegakan hukum akan bisa dijalankan.
"Nah, ini harus diatur, harus diomongin bersama. Jadi, pendekatannya pendekatan terhadap masyarakat juga seperti apa. Pendekatan kepada partai politik atau caleg juga seperti apa, kita harus pertemukan," kata Bagja.
"Sehingga kemudian yang misal di luar Rp 50.000, money politics berarti, sudah tidak ada pengampunan. Money politics, masuk ke sentra gakum (penegakan hukum), masuk ke tindak pidana pemilu," ungkap dia.
Lebih lanjut, Bagja menegaskan bahwa dengan demikian belum ada aturan pakem mengenai persoalan politik uang
Hal itu juga diakuinya masih menjadi perdebatan.