Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Soroti Pengadilan Pelanggaran HAM Berat Paniai Sepi Perhatian Publik

Kompas.com - 10/11/2022, 16:24 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti sepinya perhatian publik terhadap pengadilan atas kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat Paniai, yang saat ini bergulir di Pengadilan Negeri Makassar.

Perhatian publik pada kasus pembunuhan berencana atas Brigadir Yoshua yang melibatkan Ferdy Sambo justru jauh lebih disorot.

"Anda bisa bandingkan dua peristiwa hukum, yang satu perbuatan individu--barangsiapa melakukan pembunuhan berencana (Pasal) 340 diancam hukuman sekian tahun--semua orang matanya ke sana," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Kamis (10/11/2022).

Baca juga: Detik-detik Pelanggaran HAM Berat di Paniai: Oknum TNI Tembak Warga dan Tikam dari Dekat

"Tapi ada sebuah kejahatan, musuh seluruh umat manusia di muka bumi, kejahatan terhadap kemanusiaan, sayangnya, kita sebagai bangsa, hari ini, atas peristiwa hukum yang luar biasa ini, sangat minimal perhatiannya," lanjutnya.

Amir menegaskan betapa seriusnya kejahatan kemanusiaan dalam Tragedi Paniai 2014 ini. Dalam konteks HAM, kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat adalah kejahatan berskala internasional.

Beratnya pelanggaran HAM Tragedi Paniai dinilai memenuhi Pasal 9 Undang-undang 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, di mana kejahatan ini bersifat sistematis dan meluas sebagai konsekuensi atas kebijakan penguasa.

Baca juga: Sidang Pelanggaran HAM Berat Paniai, Saksi Ungkap Warga Ditembak di Depan Koramil

"Mengapa ini penting, karena menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan pidana yang terjadi secara sistematis dan meluas. Sistematis artinya merupakan kelanjutan dari kebijakan penguasa," ungkap Amir.

"Jadi, yang sedang diperiksa di Paniai ini, apakah peristiwa itu betul-betul terjadi sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau tidak," imbuhnya.

Sorotan publik atas Tragedi Paniai menjadi lebih penting karena berbagai preseden yang membuat proses pengadilan ini dipertanyakan.

Pertama, Kejaksaan Agung sebagai otoritas berwenang menetapkan tersangka, hanya menetapkan satu tersangka pada puncak peristiwa yang terjadi di Koramil 1705-02/Enarotali, IS, anggota TNI yang jabatannya hanya perwira penghubung Kodim Paniai.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sayangkan Pengadilan HAM Berat Paniai Digelar di Makassar

Padahal, dalam konteks pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan dilakukan sistematis dan meluas, terlebih ada pertanggungjawaban rantai komando dalam tubuh TNI dari setiap tindakan sehingga tidak mungkin hanya melibatkan 1 orang.

Komnas HAM juga menduga bahwa Tragedi Paniai tidak bisa dilepaskan dari Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) ketika itu.

"Operasi sebesar itu masa penanggungjawabnya dia (IS)? Ini lah problem pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti pada peristiwa pagi itu. Komnas HAM melihat dia akibat dari peristiwa sebelumnya yang berkaitan dengan Pamrahwan. Dalam dakwaan jaksa tidak ada itu," jelas Amir.


Kedua, susunan majelis hakim pengadilan kasus ini juga pernah dikritik karena dianggap kurang berkompeten menangani kasus HAM berat.

Ketiga, Amir juga menyoroti tidak maksimalnya proses pembuktian dalam persidangan-persidangan di PN Makassar.

Halaman:


Terkini Lainnya

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com