Faktor pengkali seperti jumlah TPS, kertas suara, tinta, jumlah daerah pemillihan (dapil), tenaga adhoc adalah sederet alasan mengapa angka besaran pembiayaan pemilu di Indonesia terus meningkat.
Sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2024—besaran biaya yang diajukan mengalami kenaikan signifikan. Kenaikannya mencapai 57 persen hingga 262 persen.
Nilai tersebut sangat kontras sekali apabila kita bandingkan dengan biaya pemilu sebelum 1999.
Karenanya, dalam dekade belakangan ini bermunculan sejumlah literatur dan temuan riset mengenai perbandingan berapa biaya pemilu tiap Negara.
Bahkan, pertanyaannya menukik, berapa anggaran yang dialokasikan per pemilih. Tujuannya, untuk mengkalkulasi berapa biaya dasar per pemilih yang harus dikeluarkan Negara atau lembaga penyelenggara pemilu.
Beragam riset mengungkapkan, hitungan biaya per pemilih di tiap Negara bervariasi. Amerika dan negara- negara Eropa Barat tercatat sebagai negara dengan biaya yang relatif rendah, sekitar 1 dollar AS dan 3 dollar AS per pemilih.
Negara lain Chili 1,2 dollar AS, Costa Rica 1,8 dollar AS, Brasil 2,3 dollar AS, Botswana 2,7 dollar AS.
Hasil riset ini menunjukkan bahwa perbedaan biaya ini disebabkan oleh jenis demokrasi yang dianut oleh masing- masing negara, pilihan sistem pemilu, dan stabilitas negara masing-masing.
Negara-negara yang post konflik dan sedang membangun kembali pemerintahan yang gagal akibat kerusakan infrastruktur sosial dan pemerintahan, biasanya mendapatkan sokongan dari negara-negara maju untuk melaksanakan pemilu yang dianggap adil dan layak untuk mempersiapkan pemerintahan baru.
Pemilu dengan sokongan ini menjadikan sebuah negara yang disebut sebagai transisi menuju demokrasi. Biaya pemilu per pemilih di negara-negara semacam ini cenderung lebih tinggi.
Misalnya Mexico 5,9 dollar AS, El Savador 4,1 dollar AS. Biaya pemilu Kamboja/Myanmar tahun 1993 pascakonflik mencapai 45 dollar AS per pemilih.
Setelah lama berjuang dengan konsolidasi demokrasi, biaya tersebut turun jauh hingga 2 dollar AS pada tahun 2003 (Rafael Lopez-Pintor, 2005: 18, Anieq Fardah, 2015: 3)
Bagaimana dengan Indonesia? Melihat hasil sejumlah indeks dunia demokrasi seperti Freedom House, Politi IV, V, Vanhanen Democracy Index, EIU, dan V Dem, maka Indonesia dikategorikan sebagai Negara yang tengah menuju demokrasi.
Bahkan, ada yang mengkategorikan demokrasi di Indonesia rapuh. Jika data tersebut digunakan dan merujuk pendapat Pintor maka Indonesia dikategorikan tergolong Negara transisi demokrasi.
Namun, kenaikan terbesar pada Pemilu 1977. Nilai kenaikan sebesar 2556,98 persen. Kemudian pada Pemilu 1999 sebesar 544,44 persen. Lalu, pada Pemilu 2019—hitungan sementara, mencapai 247,47 persen.
Besaran kenaikan nilai per pemilih itu tentu harus dijawab dengan kinerja KPU dan Bawaslu. Karena keduanya bertanggung jawab penuh atas proses pelaksanaan anggaran pemilu dan pilkada.
Publik dipastikan tidak saja menuntut akuntabilitas keduanya dalam penggunaan biaya pemilu dari proses pelaporan dan pemeriksanaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jauh lebih dari itu.
Akuntabilitas bisnis proses pelaksanaan pemilu dan pilkada juga akan dipelototi publik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejumlah peristiwa besar yang mencoreng pelaksanaan Pemilu 2019. Kasus suap Wahyu Setiawan dan kematian pada petugas KPPS.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.