“Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” ujarnya.
Polisi pun mengakui bahwa terdapat sejumlah gas air mata kedaluwarsa yang ditembakkan dalam tragedi tersebut. Namun, polisi menyebut, tidak semua gas air mata dalam kondisi kedaluwarsa.
“Ya ada beberapa yang diketemukan (kedaluwarsa) ya yang tahun 2021, ada beberapa ya,” kata Dedi.
Baca juga: Komnas HAM: Gas Air Mata Jadi Pemicu Utama Tragedi Kanjuruhan
Dedi mengatakan, pihaknya belum tahu detail jumlah gas air mata yang kedaluwarsa. Perihal tersebut saat ini masih didalami oleh laboratorium forensik.
Dia berdalih, gas air mata yang kedaluwarsa sedianya sudah tidak begitu efektif. Sebab, zat kimia di dalam gas tersebut telah menurun kadarnya.
"Ketika tidak diledakkan di atas maka akan timbul partikel lebih kecil lagi daripada bedak yang dihirup, kemudian kena mata mengakibatkan perih. Jadi kalau sudah expired (kedaluwarsa) justru kadarnya berkurang, kemudian kemampuannya akan menurun,” klaim Dedi.
Keterangan polisi itu dimentahkan oleh Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, tembakan gas air mata menjadi pemicu utama kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Temuan ini didapat setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan langsung ke lokasi dan memeriksa saksi yang selamat dari peristiwa mematikan tersebut.
"Dinamika di lapangan itu pemicu utama adalah memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan," kata Anam dalam keterangannya, Senin (10/10/2022).
Anam mengatakan, tembakan gas air mata itu menciptakan kepanikan di kerumunan penonton yang berada di tribun. Akibatnya, penonton berebut untuk keluar dari stadion melalui pintu keluar yang sempit.
"Berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah napas dan sebagainya," ujar dia.
Komnas HAM juga mengaku telah mengantongi informasi soal penggunaan gas air mata yang kedaluwarsa. Perihal itu, saat ini masih akan terus didalami.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan juga membantah pernyataan Polri soal gas air mata yang tidak mematikan.
Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, tembakkan gas air mata oleh personel Polri dalam tragedi tersebut bersifat mematikan.
Padahal, kata Rhenald, seharusnya polisi cukup menggunakan gas air mata yang kapasitasnya untuk meredam agresivitas massa. Namun, yang terjadi dalam peristiwa Kanjuruhan tidak demikian.