Begitulah, kebohongan politik bukan hal yang baru. Kekejaman politik itu sudah ada sejak zaman bahuela.
Tak mengherankan, filsuf pada era Yunani Kuno bernama Plato sudah mengumandangkan pentingnya politik yang tidak dibangun di atas pilar dusta.
Oleh sebab itu, pencapaian kekuasaan melalui branding seyogianya tidak dibangun di atas pilar kebohongan Machiavellian, bukan pula epistemologi rigoristis Kantian yang mengorbankan keselamatan manusia yang tak bersalah, tetapi epistemologi yang dapat menguak kebenaran agar mendatangkan kebaikan lebih besar, yakni kepercayaan publik.
Dengan kata lain, branding dalam konteks untuk memikat dan meningkatkan kepercayaan orang lain itu memang harus jujur dan tidak direkayasa, karena dampak kebohongan itu tidak main-main dan bahkan dapat menghancurkan masa depan masyarakat.
Selain branding yang dibuat-buat bisa menjadi bumerang dan meruntuhkan citra dan kepercayaan publik, proses branding penuh kebohongan juga melahirkan celah bagi lawan politik untuk menyusup dan meruntuhkan bangunan citra diri yang telah dibangun dengan susah payah.
Mesin politik dalam branding perlu bijak dan memiliki pertimbangan dampak jauh ke depan dalam proses membangun branding seseorang agar tidak terjebak pada seremoni-seremoni lipstik yang justru meruntuhkan kepercayaan publik.
Di sisi lain menghadapi branding lipstik, pemilih yang cerdas wajib meragukan keberpihakannya pada rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.