Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik RUU Sisdiknas: Kritik Guru Atas Dihapusnya Tunjangan Profesi-Komisi X Belum Terima Draf Resmi

Kompas.com - 06/09/2022, 10:36 WIB
Fika Nurul Ulya,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menuai polemik. Banyak pasal yang menuai kontroversi yang akhirnya dikritik berbagai kalangan, termasuk para guru yang menjadi garda terdepan di bidang pendidikan.

Pasal-pasal polemik itu terdapat di pasal 7 soal masa wajib belajar, pasal 105 yang menghilangkan tunjangan profesi guru (TPG), hingga pasal 109 yang mewajibkan para guru lulus pendidikan profesi guru (PPG).

Secara rinci, pasal 7 draf RUU Sisdiknas mengubah masa wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun, dengan rincian 10 tahun pendidikan dasar (pra sekolah dan kelas 1-9), dan 3 tahun pendidikan menengah (kelas 10-12).

Baca juga: Banyak Pasal Polemik, Persatuan Guru Minta Dilibatkan dalam Pembahasan RUU Sisdiknas

Kemudian di pasal 105 huruf a, RUU menghapus Tunjangan Profesi Guru (TPG). Hal ini berbeda dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur secara rinci ragam tunjangan yang diterima guru.

Lalu di pasal 109, setiap orang yang akan menjadi guru wajib dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) pasca RUU disahkan dan berlaku secara nasional.

Pasal-pasal tersebut mendapat perhatian dari para guru, utamanya mengenai penghapusan TPG. Pada Senin (5/9/2022), mereka mengadakan audiensi atau menyampaikan pendapat kepada Komisi X DPR RI.

Baca juga: Komisi X Akui Belum Terima Naskah RUU Sisdiknas secara Resmi

Para guru tersebut terdiri dari Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), PP Ikatan Guru Indonesia (IGI), DPP Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan, serta Poros Pelajar Nasional.

Terkait penghapusan TPG, PGRI menilai negara sudah merendahkan harkat dan martabat guru. Dengan tidak adanya tunjangan profesi, kesejahteraan guru menjadi standar minimum, bahkan di bawah minimum.

Sedangkan UU Nomor 14 Tahun 2005 berusaha meningkatkan standar kesejahteraan guru. Hal ini dianggap berbeda dengan semangat Merdeka Belajar, Guru Merdeka yang selama ini digaungkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Baca juga: Dukungan RUU Sisdiknas Masuk Prolegnas 2022 Terus Mengalir

"UU tentang Guru dan Dosen yang mengangkat harkat martabat kami sebagai profesi guru dengan kesejahteraan di atas minimum, dijadikan standar minimum bahkan di bawah minimum (dengan adanya RUU Sisdiknas)," kata Ketua Departemen Litbang Pengurus Besar PGRI Sumardiansyah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, Senin (5/9/2022).

Dalam UU Guru dan Dosen pasal 15 menyatakan, guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum. Di dalamnya terdapat gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus, hingga tunjangan kehormatan.

Tunjangan profesi guru diatur dalam pasal 16 ayat 1-6 dalam UU tentang Guru dan Dosen, tunjangan fungsional diatur di pasal 17 ayat 1 sampai 3, tunjangan khusus dalam pasal 18 ayat 1-4, dan maslahat tambahan di pasal 19.

Baca juga: Tunjangan Profesi di RUU Sisdiknas Dihapus, PGRI: Kesejahteraan Guru Jadi di Bawah Minimum

Namun dalam pasal 105 RUU Sisdiknas, tunjangan guru justru dihapus. Penghapusan jenis tunjangan ini otomatis membuat guru hanya mengandalkan gaji pokok yang kecil, karena tidak semua guru mendapat tunjangan khusus.

Guru juga tidak bisa mengandalkan tunjangan lain, seperti tunjangan fungsional yang jumlahnya tidak signifikan maupun tunjangan kinerja yang bergantung pada kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Masing-masing.

"Poin ini yang menginginkan agar guru mendapat kesejahteraan di atas minimum, hilang dalam RUU Sisdiknas versi Agustus," ujar Sumardiansyah.

"Kawan-kawan kita di Sulawesi Tenggara (Sultra) dia hanya dapat gaji pokok dan tunjangan profesi. Lalu di perbatasan yang harusnya dapat tunjangan khusus/tunjangan daerah 3T, tidak dapat," ucap Sumardiansyah.

Baca juga: Menyelisik Konstruksi Pendidikan Jarak Jauh dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas

Sudah beberapa kali wacana

Wacana hilangnya tunjangan profesi sebenarnya sudah beberapa disuarakan oleh pemerintah.

Pada tahun 2015 misalnya, Kemendikbud ingin menghapuskan tunjangan profesi guru saat rapat bersama Komisi X DPR RI.

Pada tahun 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan, besarnya tunjangan profesi dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik. Sri Mulyani juga menganggap tunjangan profesi tersebut hanya membebani APBN.

Kemudian pada tahun 2021, pemerintah juga berencana hanya memberikan tunjangan profesi hanya kepada guru yang berprestasi.

"Dan tahun 2019 kawan-kawan kita di kalangan guru SPK yang di dalamnya ada kurikulum nasional, PPKN, bahasa Indonesia, agama, tunjangan profesinya dihentikan. Artinya penghilangan tunjangan profesi nyata adanya, dimulai dari kalangan guru-guru SPK," sebut dia.

Baca juga: Dukung RUU Sisdiknas, Ketua Komisi X Usul Wajib Belajar 18 Tahun dari PAUD hingga Kuliah

Tak dilibatkan

Munculnya sejumlah pasal kontroversial disinyalir lantaran tidak dilibatkannya guru dalam proses penyusunan RUU. Padahal, para guru dan dosen menjadi tulang punggung utama sistem pendidikan di Indonesia.

Apalagi RUU ini adalah RUU sapu jagat (omnimbus law) yang rencananya bakal mencabut dan mengintegrasikan 3 undang-undang sebelumnya yang terkait pendidikan.

Ketiga UU tersebut, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pendidikan Tinggi.

Sumardiansyah pun menganggap bahwa penyusunan RUU ini terkesan terburu-buru, diam-diam dan tidak transparan.

Oleh karena itu, para guru meminta bersama komisi X DPR RI untuk membentuk kelompok kerja (Pokja) nasional RUU Sisdiknas dari berbagai unsur organisasi.

Baca juga: RUU Sisdiknas: Sertifikasi Pendidik Hanya untuk Calon Guru Baru

"Itu lah kenapa PGRI memang wajib dilibatkan dalam berbagai kebijakan pendidikan di Republik ini," jelasnya.

Komisi X belum dapat draft resmi

Terlepas dari banyaknya polemik yang beredar di kalangan guru dan praktisi akademi, nyatanya Komisi X DPR RI yang notabene menjadi mitra kerja Kemendikbudristek belum menerima draft secara resmi dari kementerian.

Kenyataan ini diungkap oleh anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Djohar Arifin Husin. Ia mengatakan, Komisi XI DPR RI belum mengetahui sasaran utama maupun peta jalan dari RUU tersebut, lantaran belum menerima naskah aslinya.

Dia merasa heran, banyak rambu-rambu dalam RUU yang sudah diketahui publik, termasuk dihapusnya pasal tentang tunjangan profesi guru.

Baca juga: HUT Ke-17, Himpaudi Dukung RUU Sisdiknas dengan 2 Catatan Ini

"(Penghapusan pasal tunjangan profesi) ini yang kita dengar, karena kami belum terima secara resmi. RUU ini langsung dibuat rambunya. Petanya apa, sasaran utamanya apa, goal-nya belum ada. Petanya pun belum ada, tau-tau rambu-rambunya dibuat. Ini aneh," ucap Djohar di kesempatan yang sama.

Belum diterimanya RUU Sisdiknas oleh Komisi X DPR RI juga diungkapkan oleh Anggota DPR RI Fraksi PAN, Dewi Coryati.

"Masalahnya, kami saja belum menerima naskah akademiknya. Dan saya berpikir tadi, dari rumah saya mikir, kita (melakukan RDPU), tapi kita saja belum tahu RUU mau seperti apa," ucap dia.

Tak hanya komisi X, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pun belum menerima naskah akademisnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com