Sebenarnya tuntutan masyarakat terhadap Polri tidak terlalu muluk. Yang penting bagaimana Polri bisa memberi pelayanan baik kepada masyarakat.
Masalah pelayanan kepada masyarakat inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian utama para pemimpin Polri, apalagi masyarakat memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap Listyo Sigit Prabowo.
Akibat kasus ‘Gurita Sambo’ ini, mencuat berbagai penilaian terhadap institusi Polri. Kalau sebuah institusi rawan atau bahkan mengidap kompilasi penyakit bernama kejahatan istimewa extra ordinary crime, bagaimana mungkin institusi itu masih kapabel untuk diandalkan melawan dan memberantas kejahatan?
Apa masih rasional suatu lembaga penegak hukum (Polri) mendapatkan mandat untuk berdiri di garis depan penegakan hukum (law enforcement) kalau korps tersebut belum maksimal bercerai dari malpraktik profesi atau terlibat dalam kejahatan penyalahgunaan kewenangan?
Pernyataan tersebut menjadi gugatan moral profetis atas keterlibatan Polri dalam berbagai praktik ilegalitas atau penyalahgunaan kekuasaan.
Keterlibatan itu telah membuat wajah Polri semakin temaram atau menjadi institusi yang kemampuannya diragukan untuk mempertahankan, apalagi menjaga, keberlanjutan hidupnya di negara hukum ini.
Sengkarutnya wajah Polri yang terkait dengan dugaan perkara ‘Gurita Sambo’ atau penyalahgunaan profesi memang sudah lama atau sering terjadi.
Kasus rekening gendut dan mafia pajak merupakan sampel kasus sebelum kasus ‘Gurita Sambo’ yang melibatkan petinggi Polri.
Kalau semakin banyak dan komplikatif virus yang menimpa Polri, logis jika kita sampai pada kesimpulan bahwa stigma negeri ini bisa menjadi “negeri tanpa Polisi” atau negeri yang secara faktual dan de jure mempunyai elemen penegakan hukum law enforcement fundamental, tetapi di masyarakat, kesejatian dirinya telah “melepas baju” kebesarannya.
Sebagai elemen penegakan hukum, tentulah “baju kebesaran” yang dikenakan Polri ialah produk yuridis yang meregulasikan peran fundamental dan kesakralannya yang berelasi dengan pencegahan, penanggulangan, atau penanganan problem penyimpangan, penyebaran virus pembusukan hukum legal decay di masyarakat.
Polri diberi tugas ‘suci’ oleh negara untuk selalu menjadi pilar di garda kehidupan bermasyarakat dan bernegara demi terciptanya social order maupun sehatnya konstriksi implementasi sistem peradilan pidana.
Ada empat catatan kritis tulisan ‘Gurita Sambo’ dalam konteks Menyibak Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Perspektif Moral:
Pertama, Polisi sudah hilang simpati. Sebagai pengelola keamanan dan ketertiban umum, Polri dibutuhkan bagi stabilitas pemerintahan.
Dalam hal ini, kemampuan pengelolaan keamanan menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa dan negara.
Kini, cara penanganan polisi atas kasus hukum menuai badai yang berpotensi munculnya krisis kepercayaan.
Kepercayaan adalah modal utama yang dibutuhkan Polri dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai penegak hukum, penjaga keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Karena itu, kewenangan mutlak dalam fungsi preventif dan represif seyogianya tidak merepresentasikan kekuasaan dan arogansi.
Memosisikan Polri berhadapan dengan masyarakat akan menjadi kontraproduktif dalam menjaga citra sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Masalahnya kini, munculnya banyak sinyalemen hilangnya simpati masyarakat terhadap polisi.
Kini, aliran dukungan masyarakat kepada kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) kian deras. Ini merupakan cermin belarasa masyarakat terhadap masalah keadilan.
Seharusnya suara rakyat (dari mana pun) dijadikan Polri sebagai masukan penting bagi upaya menegakkan hukum dan kepentingan rakyat.
Kedua, kinerja Polisi kian berat. Ke depan, tuntutan masyarakat terhadap kinerja Polri kian berat, yang menghendaki adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban penjelasan dari tiap tindakan polisi dengan mempertimbangkan asas kepantasan dan keadilan.