LEMBAGA Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dikabarkan akan melakukan pemeriksaan psikologis terhadap seorang perempuan yang ramai diberitakan telah mengalami pelecehan seksual–sebutlah insiden Duren Tiga.
LPSK, kata Wakil Ketuanya sebagaimana diwartakan media, tidak bisa mengacu pada hasil pemeriksaan pihak lain.
Kendati sikap independensi LPSK itu dihargai, namun pemeriksaan berulang terhadap pihak yang diduga mengalami kejahatan seksual bisa mengakibatkan trauma sekunder.
Trauma ini bersumber dari keharusan terduga-korban untuk mengingat-ingat kembali peristiwa yang sesungguhnya tidak ingin diingat oleh setiap korban kejahatan.
Viktimisasi sekunder juga istilah yang relevan untuk menunjuk kegetiran berupa trauma berulang yang justru secara ironis dipantik oleh alat negara yang seharusnya paling paham akan risiko buruk tersebut.
Pada sisi lain, pemeriksaan ulang oleh LPSK memiliki pembenaran. Ini bukan wujud tidak ada keberpihakan pada korban kejahatan seksual.
Kejahatan seksual memiliki dampak luar biasa. Ambil misal, dibandingkan dengan kecelakaan lalu lintas yang lima belas persen korbannya mengalami gangguan stres pascatrauma, kejahatan seksual mengakibatkan gangguan yang sama pada delapan puluh persen korbannya.
Satu data itu saja sudah memberikan alasan kuat betapa pentingnya perhatian bagi para korban kejahatan seksual.
Pembenaran bagi pemeriksaan ulang oleh LPSK terletak pada prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian ini berangkat dari "amanat" buku pintar psikologi dan psikiatri bernama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
DSM memuat arahan bahwa, dalam setting forensik, pemeriksaan terhadap kondisi para klien/pasien/korban juga perlu memperhatikan kemungkinan adanya malingering.
Malingering adalah perekayasaan berencana terhadap kondisi fisik maupun psikis guna mendapatkan manfaat eksternal tertentu.
Bisa berupa manfaat finansial, popularitas, lepas dari intimidasi, maupun manfaat-manfaat hukum.
Jadi, tafsirannya, pemeriksaan ulang oleh LPSK diselenggarakan dalam rangka memastikan ada tidaknya malingering tersebut.
Apabila seorang korban atau pun pelaku pelecehan seksual–siapa pun dia–diketahui melakukan malingering dengan tujuan untuk menyiasati hukum, maka dapat dipahami bahwa ia sesungguhnya dalam keadaan sehat.
Perbuatan malingering oleh yang bersangkutan laik dipandang sebagai tindakan yang ditujukan untuk menghalang-halangi atau pun menyimpangkan proses penegakan hukum.