JAKARTA, KOMPAS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyidik kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi PT PLN (persero) pada 2016.
Dalam kasus tersebut, pihak Kejagung menemukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana terkait proses pengadaan tower transmisi PT PLN (persero).
“Adanya fakta-fakta, perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Senin (25/7/2022) malam.
Baca juga: Kejagung Dalami Dugaan Korupsi Pengadaan Tower Transmisi PLN
Ketut menjelaskan, PT PLN pada 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp. 2.251.592.767.354.
Proyek itu dilaksanakan oleh PT. PLN (persero) dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) serta 14 penyedia pengadaan tower pada 2016.
Namun demikian, dalam proses pengadaan ditemukan sejumlah unsur perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Ketut menyebutkan beberapa unsur itu adalah dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat.
Pihak pelaksana menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016.
“Namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat,” tambah Ketut.
PT PLN (persero) dalam proses pengadaan selalu mengakomodir permintaan dari ASPATINDO sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka, karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.
Lalu, PT Bukaka dan 13 Penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam ASPATINDO telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak periode Oktober 2016-Oktober 2017 dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.
Akan tetapi, pada periode November 2017 sampai Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing.
“Yang kondisi tersebut memaksa PT PLN persero melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun,” imbuh Ketut.
Baca juga: Eks Dirut Krakatau Steel Jadi Tahanan Kota, Kejagung: Usia Sudah 74 Tahun dan Sakit
PT PLN (persero) dan penyedia, menurut Ketut, juga diduga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower.
Mereka juga melakukan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, karena dengan alasan pekerjaan belum selesai.
“Ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan addendum,” tulisnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.