Pencopotan keduanya juga dibarengi dengan tuduhan korupsi, walau tak pernah dibuktikan. Hal itu juga membuat hubungan Gus Dur dengan PDI-P dan Golkar renggang sehingga membuat pemerintahannya terus digoyang oleh DPR.
Konflik dalam pemerintahan Gus Dur bertambah setelah dia berselisih dengan Kapolri Raden Surojo Bimantoro.
Saat itu Bimantoro adalah salah satu orang yang tidak sepakat dengan kebijakan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Usulan Gus Dur untuk mencabut Ketetapan (TAP) MPRS Nomor 25 tahun 1966 soal Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pelarangan Menyebarkan Ajaran Komunisme/Marxisme juga dinilai mengancam haluan negara.
Hal itu menjadi salah satu peluru yang digunakan DPR untuk memakzulkan Gus Dur.
Baca juga: Damai Sesaat di Istana, Kala Gus Dur Selesai Shalat Malam Jelang Dilengserkan MPR...
Kemudian saat situasi politik nasional terus memanas, bentrokan antara aparat kepolisian dengan para pendukung Gus Dur beberapa kali terjadi.
Puncaknya adalah saat Gus Dur menyatakan menonaktifkan Bimantoro pada Mei 2001, setelah seorang warga tewas akibat ditembak polisi dalam situasi unjuk rasa.
Menurut laporan, warga yang tewas itu tengah berada di warung makan. Gus Dur murka dan mengatakan Bimantoro tak bisa mengendalikan anak buahnya.
Gus Dur kemudian menunjuk Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail yang saat itu menjabat Wakil Kapolri sebagai Kapolri pada 2 Juni 2001.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai langkah Gus Dur secara sepihak melantik Chairuddin menyalahi aturan. Sebab, proses penggantian Kapolri harus melalui persetujuan DPR.
Dalam buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton disebutkan, sebanyak 151 anggota DPR menyerahkan sebuah dokumen kepada Ketua DPR Akbar Tanjung pada akhir November 2000.
Isinya adalah sejumlah alasan yang dinilai cukup untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi presiden.
Para politikus yang menandatangani dokumen itu berasal dari PDI-P (47 orang), Golkar (37 orang) dan Fraksi Reformasi serta PAN (34 orang).
Dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama disebutkan, Poros Tengah yang mulanya mendukung Gus Dur dalam pemilihan presiden 1999 akhirnya berbalik menjadi musuh politik.
Dia menyatakan alasan sikap Poros Tengah berbalik karena gagal memperoleh konsesi politik dan ekonomi setelah Gus Dur naik menjadi presiden.
Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana