Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gus Dur dan Poros Tengah, Mesra di Awal dan Runyam di Akhir

Kompas.com - 24/07/2022, 10:30 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan koalisi Poros Tengah memang mesra di awal. Namun, akhirnya koalisi itu juga yang berbalik dan mendepak Gus Dur dari kekuasaan.

Koalisi Poros Tengah yang digagas Amien Rais berjasa memenangkan Gus Dur dalam pemilihan presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 1999.

Mulanya tidak ada yang menyangka sosok Gus Dur bakal dijagokan sebagai calon presiden, melawan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dan Bacharuddin Jusuf Habibie.

Apalagi saat itu pamor Megawati sedang berada di puncak karena dinilai merupakan lawan politik utama Presiden Suharto dan rezim Orde Baru.

Selain itu, PDI-P merupakan pemenang pemilihan legislatif 1999 dengan 34.000.000 suara atau hampir 34 persen.

Baca juga: Gus Dur: Tak Ada Jabatan yang Layak Dipertahankan dengan Pertumpahan Darah

Akan tetapi, sikap Amien Rais yang mulanya juga mendukung Megawati justru berbalik dengan membentuk Poros Tengah yang berisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Alasan Poros Tengah menolak mengusung Megawati sebagai calon presiden saat itu adalah persoalan gender.

Di sisi lain, Gus Dur menilai jika aspirasi politik PDI-P untuk mengusung Megawati dihambat maka bisa timbul konflik baru karena partai itu merupakan pemenang Pemilu.

Maka dari itu Gus Dur membujuk Megawati untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.

Akhirnya keduanya memenangkan voting di MPR dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

*** Local Caption *** Meninggalkan Istana ? Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.KOMPAS/JB Suratno *** Local Caption *** Meninggalkan Istana ? Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.

Setelah berjalan, pemerintahan Gus Dur mulai digoyang dengan berbagai persoalan.

Persoalan itu bermacam-macam, mulai dari Gus Dur yang dituduh korupsi dalam skandal Buloggate dan Bruneigate yang tak pernah terbukti.

Persoalan lainnya adalah kebijakan Gus Dur yang mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dengan syarat lebih rendan dari bendera Merah Putih. Hal itu membuat hubungannya dengan para petinggi Polri dan TNI merenggang.

Persoalan lainnya dalah keputusan Gus Dur yang mencopot Jusuf Kalla (JK) dari posisi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, serta Laksamana Sukardi dari posisi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Saat itu JK dan Laksamana Sukardi dinilai merupakan anak emas partai masing-masing, yakni Partai Golkar dan PDI-P.

Baca juga: Air Mata Gus Dur Mengalir sebelum Terbitkan Dekrit

Pencopotan keduanya juga dibarengi dengan tuduhan korupsi, walau tak pernah dibuktikan. Hal itu juga membuat hubungan Gus Dur dengan PDI-P dan Golkar renggang sehingga membuat pemerintahannya terus digoyang oleh DPR.

Konflik dalam pemerintahan Gus Dur bertambah setelah dia berselisih dengan Kapolri Raden Surojo Bimantoro.

Saat itu Bimantoro adalah salah satu orang yang tidak sepakat dengan kebijakan pengibaran bendera Bintang Kejora.

Usulan Gus Dur untuk mencabut Ketetapan (TAP) MPRS Nomor 25 tahun 1966 soal Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pelarangan Menyebarkan Ajaran Komunisme/Marxisme juga dinilai mengancam haluan negara.

Hal itu menjadi salah satu peluru yang digunakan DPR untuk memakzulkan Gus Dur.

Baca juga: Damai Sesaat di Istana, Kala Gus Dur Selesai Shalat Malam Jelang Dilengserkan MPR...

Kemudian saat situasi politik nasional terus memanas, bentrokan antara aparat kepolisian dengan para pendukung Gus Dur beberapa kali terjadi.

Puncaknya adalah saat Gus Dur menyatakan menonaktifkan Bimantoro pada Mei 2001, setelah seorang warga tewas akibat ditembak polisi dalam situasi unjuk rasa.

Menurut laporan, warga yang tewas itu tengah berada di warung makan. Gus Dur murka dan mengatakan Bimantoro tak bisa mengendalikan anak buahnya.

Gus Dur kemudian menunjuk Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail yang saat itu menjabat Wakil Kapolri sebagai Kapolri pada 2 Juni 2001.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai langkah Gus Dur secara sepihak melantik Chairuddin menyalahi aturan. Sebab, proses penggantian Kapolri harus melalui persetujuan DPR.

*** Local Caption *** Meninggalkan Istana ? Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah di dalam mobil Mercedes Bernz dengan nomor polisi B 2198 V, ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.KOMPAS/JB Suratno *** Local Caption *** Meninggalkan Istana ? Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah di dalam mobil Mercedes Bernz dengan nomor polisi B 2198 V, ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.

Dalam buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton disebutkan, sebanyak 151 anggota DPR menyerahkan sebuah dokumen kepada Ketua DPR Akbar Tanjung pada akhir November 2000.

Isinya adalah sejumlah alasan yang dinilai cukup untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi presiden.

Para politikus yang menandatangani dokumen itu berasal dari PDI-P (47 orang), Golkar (37 orang) dan Fraksi Reformasi serta PAN (34 orang).

Dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama disebutkan, Poros Tengah yang mulanya mendukung Gus Dur dalam pemilihan presiden 1999 akhirnya berbalik menjadi musuh politik.

Dia menyatakan alasan sikap Poros Tengah berbalik karena gagal memperoleh konsesi politik dan ekonomi setelah Gus Dur naik menjadi presiden.

Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana

DPR juga kemudian membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menyelidiki skandal Buloggate dan Bruneigate.

Karena permasalahan yang menumpuk itu, DPR mendesak MPR untuk menggelar Sidang Istimewa (SI).

Amien Rais yang ketika itu menjabat sebagai Ketua MPR sepakat menggelar SI dan bahkan dipercepat.

Gus Dur sempat melakukan perlawanan dengan menerbitkan dekrit presiden pada 23 Juli 2001 dini hari, yang salah satu isinya membekukan parlemen. Namun, kebijakan itu tidak didukung.

Baca juga: Cerita Wartawan Saat Gus Dur Dilengserkan: Menginap di Istana hingga Antarkan ke Lapangan Monas

Alhasil, MPR tetap menggelar SI pada 23 Juli 2001 dan memutuskan mencopot Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden.

MPR beralasan Gus Dur melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), walaupun tak pernah terbukti sampai saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com