JAKARTA, KOMPAS.com - Dini hari itu, 21 Juli 2001, sekitar pukul 03.00, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid seorang diri di kamarnya, yang terletak di belakang ruangan Bendera Pusaka, di Istana Merdeka, Jakarta.
Saat itu, di luar Istana, suara dari massa yang mengeklaim diri demonstran masih bertalu-talu.
Unjuk rasa kala itu sedang besar-besarnya, bagian dari operasi politik menjatuhkan Gus Dur dengan lebih dulu menjatuhkan reputasinya.
Kekuatan Orde Baru yang berjaya di zaman Soeharto sedang terancam oleh berbagai tindakan Gus Dur dalam masa kepemimpinannya yang baru setahunan.
Salah satu contohnya, Gus Dur "mengotak-atik" Badan Urusan Logistik (Bulog) yang sebelumnya erat dengan Golkar.
Baca juga: Cerita di Balik Celana Pendek Gus Dur Saat Menyapa Pendukungnya dari Istana
Jaksa Agung kabinet Gus Dur, Baharuddin Lopa, langsung diberi lampu hijau begitu hendak membuka kasus kebocoran dana Bulog sekitar Rp 90 miliar yang diduga melibatkan berbagai nama mentereng, termasuk Akbar Tandjung, Ketua DPR RI saat itu.
Parlemen yang semula mengangkat diri Gus Dur sebagai presiden, saat itu justru sepakat menjatuhkannya dengan tuduhan skandal aliran dana bantuan Sultan Brunei (Bruneigate) dan skandal Bulog (Buloggate).
Berbagai fitnah dilancarkan pada Gus Dur dan keluarga lewat rangkaian aksi unjuk rasa dan pemberitaan media-media massa besar yang memang terafiliasi dengan gurita bisnis Cendana.
"Itu momen panjang. Mulai dari menghadapi headline-headline yang menyudutkan, mem-framing, mengatakan hal-hal yang tidak pernah ada, kemudian menghadapi publik yang mendapatkan berita itu dan memercayai hal tersebut dan memproyeksikannya kepada kami. Menyakitkan," ungkap Inayah Wulandari, putri bungsu Abdurrahman Wahid, ketika disambangi Kompas.com di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Keadaan terasa menyakitkan, kata Inayah, sebab Gus Dur sama sekali tak punya pretensi pribadi dalam menjabat presiden.
Gus Dur bukan hanya merasa tak bersalah, namun memang tak bersalah. Segala fitnah skandal yang dialamatkan kepada cucu Hasyim Asy'ari itu tak punya bukti sama sekali.
Inayah kuat menduga, ayahnya tahu betul waktunya di Istana tak banyak, kendati upaya untuk menjungkalkannya adalah tindakan inkonstitusional.
Situasi di sekitar Istana kala itu bukan hanya terasa genting karena kedatangan para demonstran. Realitas politik saat itu sudah tak mendukung Gus Dur.
Di saat angkatan bersenjata sekubu dengan Senayan, Gus Dur hanya punya Paspampres sebagai benteng terakhir. Posisi Gus Dur di ujung tanduk.
Baca juga: Cerita Wartawan Saat Gus Dur Dilengserkan: Menginap di Istana hingga Antarkan ke Lapangan Monas
Mantan Ketua Umum PBNU itu pun menyadari, keadaan bukan hanya gawat secara politik, namun juga secara fisik.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.