JAKARTA, KOMPAS.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan tiga undang-undang terkait provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, sebagai pemekaran dari provinsi Papua, Kamis (30/6/2022) dalam Rapat Paripurna.
Jika dihitung mundur, pembahasan soal pembentukan tiga provinsi baru di ditempuh dengan cara kilat.
Hanya butuh 2,5 bulan bagi Dewan untuk membuat tiga provinsi baru di Papua, terhitung sejak tiga rancangan undang-undang (RUU) tentang provinsi baru ini disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 12 April 2022.
Baca juga: Mengenal Nama Adat dan Profil Wilayah 3 Provinsi Baru Pemekaran Papua
Sejak awal, pembentukan 3 provinsi baru ini dikritik para pemerhati isu Papua dan pegiat hak asasi manusia. Ada beberapa masalah yang mendasari.
Pemekaran Papua kemarin tak akan bisa terlaksana jika DPR tak lebih dulu merevisi Undang-undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, seiring berakhirnya otsus pada 2021 lalu.
Tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara representasi kultural orang asli Papua (OAP), DPR dan pemerintah mengevaluasi pelaksanaan otsus dan tiba pada kesimpulan bahwa otsus perlu diperpanjang.
DPR pun merevisi UU Otsus lewat UU Nomor 2 Tahun 2021. DPR menambah satu kewenangan Jakarta atas Papua, yaitu pemekaran wilayah. Sebelumnya, pemekaran wilayah di Papua hanya dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua.
Baca juga: Dampak 3 Provinsi Baru Papua, dari Anggaran Pemilu sampai Polda Baru
Kebijakan itu dinilai melenyapkan keistimewaan Papua selaku daerah otonomi khusus, yang bercirikan semangat desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah.
"Ini bukti pemerintahan kita berjalan ke tatanan yang tidak demokratis, tidak ada desentralisasi. Adanya resentralisasi atau pemusatan kekuasan kembali dari daerah ke pusat," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam jumpa pers kemarin.