Salin Artikel

3 Provinsi Baru di Papua Disahkan: Antara Mitos Kesejahteraan dan Kuasa Jakarta di Bumi Cenderawasih

Jika dihitung mundur, pembahasan soal pembentukan tiga provinsi baru di ditempuh dengan cara kilat.

Hanya butuh 2,5 bulan bagi Dewan untuk membuat tiga provinsi baru di Papua, terhitung sejak tiga rancangan undang-undang (RUU) tentang provinsi baru ini disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 12 April 2022.

Sejak awal, pembentukan 3 provinsi baru ini dikritik para pemerhati isu Papua dan pegiat hak asasi manusia. Ada beberapa masalah yang mendasari.

Utak-atik UU Otsus, resentralisasi kekuasaan ke Jakarta

Pemekaran Papua kemarin tak akan bisa terlaksana jika DPR tak lebih dulu merevisi Undang-undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, seiring berakhirnya otsus pada 2021 lalu.

Tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara representasi kultural orang asli Papua (OAP), DPR dan pemerintah mengevaluasi pelaksanaan otsus dan tiba pada kesimpulan bahwa otsus perlu diperpanjang.

DPR pun merevisi UU Otsus lewat UU Nomor 2 Tahun 2021. DPR menambah satu kewenangan Jakarta atas Papua, yaitu pemekaran wilayah. Sebelumnya, pemekaran wilayah di Papua hanya dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua.

Kebijakan itu dinilai melenyapkan keistimewaan Papua selaku daerah otonomi khusus, yang bercirikan semangat desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah.

"Ini bukti pemerintahan kita berjalan ke tatanan yang tidak demokratis, tidak ada desentralisasi. Adanya resentralisasi atau pemusatan kekuasan kembali dari daerah ke pusat," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam jumpa pers kemarin.


UU Otsus masih diuji di MK

Revisi UU Otsus yang dinilai mencabut roh otonomi khusus Papua membuat MRP melayangkan judicial review beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada tahun yang sama.

Perkara itu terdaftar dengan nomor 47/PUU-XIX/2021. Beberapa pasal diuji di sana, antara lain Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, termasuk Pasal 76 dan Pasal 77 terkait pemekaran.

Persidangan telah menuju akhir dengan masing-masing pihak yang berperkara telah menyerahkan dokumen kesimpulan kepada mahkamah, hanya menanti putusan Hakim Konstitusi.

DPR dan pemerintah dianggap tidak etis karena mempercepat pembahasan pemekaran Papua yang berpijak pada undang-undang yang masih diuji di MK.

“Ini akal sehatnya ada di mana? Saya berharap pihak eksekutif dan legislatif menimbang, menunggu kepastian hukum, baru proses hukum ini (pemekaran Papua) bisa dilaksanakan,” kata Ketua MRP Timotius Murib kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2022).

Simbiosis para elite

Pemekaran Papua ditengarai membawa kepentingan elite.

Di tingkat pusat, pemekaran Papua bisa memperkuat kontrol Jakarta karena pembentukan provinsi anyar bakal dibarengi dengan penambahan pasukan, baik dari kepolisian maupun TNI.

Di tingkat lokal, para elite setempat akan memperoleh karpet merah menuju posisi-posisi yang bakal ada karena pembentukan provinsi baru.

Simbiosis mutualisme kedua pihak tercermin dalam kajian yang dilakukan antropolog Universitas Papua I Ngurah Suryawan dalam disertasinya berjudul “Siasat Elite Mencuri Kuasa di Kabupaten Manokwari, Papua Barat” (2015).

Ia menjelaskan bagaimana elite-elite lokal turut berupaya melakukan serangkaian koordinasi dan lobi-lobi ke Jakarta guna memuluskan pemekaran wilayah di Papua.

“Ini (pemekaran wilayah) peluang yang diciptakan dan disadari negara, dimanfaatkan para elite (lokal Papua). Disadari betul oleh negara, bahwa (elite) Papua harus diberi ruang, diberi ‘mainan’, dikasih panggung,” kata Ngurah kepada Kompas.com (8/4/2022).


Hal ini tampak dari apa yang sudah terjadi di tingkat kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat. Pemekaran wilayah justru jadi ajang elite-elite lokal berebut jabatan di birokrasi, akses anggaran, proyek, dan kue-kue kekuasaan lainnya.

Beberapa kepala daerah, sebut saja eks Bupati Maybrat Bernard Sagrim dan eks Bupati Sorong Selatan Otto Ihalauw, sudah terjerat kasus korupsi.

“Saya kira ujungnya kita akan melihat terbentuknya kelompok-kelompok kelas menengah, elite lokal yang sejahtera karena pemekaran ini. Di sisi lain, masyarakat kecil tidak akan pernah mendapatkan kesejahteraan karena memang sirkulasi kekuasaannya ada di tangan mereka (elite),” ungkapnya.

Presiden Joko Widodo bahkan mengundang diam-diam sejumlah anggota MRP yang mendukung pemekaran ke Istana pada 20 Mei 2022, tanpa bersurat resmi ke MRP. Agenda itu berlangsung tertutup.

Mitos kesejahteraan

Pemerintah dan DPR selalu berdalih soal misi pemerataan pembangunan maupun peningkatan kesejahteraan di balik pemekaran Papua.

“Kita punya semangat yang sama untuk mempercepat pembangunan Papua dan juga untuk menyejahterakan rakyat, terutama orang asli Papua,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.

Namun, data dan fakta bicara lain.

Studi Bappenas pada 2001-2007, daerah pemekaran tidak lebih baik ketimbang daerah induk setelah 5 tahun. Situasi pasca-pemekaran tidak kondusif bagi daerah baru untuk segera menggerakkan perekonomian.

Hasil evaluasi dan laporan BPK pada 2019 juga menunjukkan bahwa sumber pendapatan sebagian besar daerah pemekaran sejak tahun 1999 hingga 2014 masih tergantung pada APBN dan belum mampu mandiri.

Ini yang membuat pemerintah menempuh moratorium pemekaran wilayah.

“Porsi PAD-nya (pendapatan asli daerah) masih berada di bawah dana transfer pusat. Ini salah satu alasannya itu,” ungkap Wakil Presiden Ma’ruf Amin, 4 Desember 2020, dikutip situs resmi wapres.go.id.

Tak terkecuali Provinsi Papua Barat yang mekar dari Papua pada 1999. Rata-rata transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari pemerintah pusat selama 5 tahun terakhir, menurut data Kementerian Keuangan, berkontribusi pada 84,3 persen APBD seprovinsi Papua Barat.

Data Kementerian Dalam Negeri, PAD Papua Barat dan Papua hanya 6,15 persen dan 11,96 persen, terendah secara nasional pada 2021. Di Papua, angka itu besar karena keberadaan PT Freeport.

Mitos kesejahteraan ini semakin kuat jika menilik indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua.

“Di kabupaten/kota yang didominasi oleh penduduk non-Papua, IPM-nya tinggi, bisa mencapai 70-73. Namun, wilayah-wilayah yang didominasi oleh masyarakat Papua, IPM-nya masih rendah,” kata Usman.


Potensi konflik sosial dan pelanggaran HAM

Segala kemelut pemekaran Papua diprediksi bakal memperuncing konflik di Bumi Cenderawasih. Apalagi, pemekaran ini dianggap tidak dengan kajian ilmiah yang mendalam serta memperhitungkan situasi antropologis di Papua yang sangat beragam.

Ambil contoh, pembentukan Provinsi Papua Tengah dengan ibu kotanya di Nabire diprediksi bakal memicu gesekan.

Wilayah Nabire, secara adat, lebih dekat dengan wilayah adat Saireri. Sementara itu, mayoritas wilayah Papua Tengah, seperti Mimika, merupakan wilayah adat Meepago.

"Di Nabire sendiri ada beberapa kelompok yang berbeda pendapat menolak jadi ibu kota provinsi, maunya gabung dengan Saireri. Perbedaan pendapat ini akan menimbulkan konflik," ungkap pegiat hak asasi manusia sekaligus pemuka Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Dora Balubun, kemarin.

Ia mengeklaim bahwa potensi konflik itu tercermin pula di level elite ketika Komisi II DPR RI berkunjung ke Merauke dan Jayapura pada akhir pekan lalu.

"Itu beberapa bupati bersitegang, seperti Bupati Nabire dan Mimika, untuk siapa yang ibu kotanya menjadi ibu kota provinsi," kata Dora.

Di sisi lain, pengerahan pasukan dalam jumlah besar lewat polda dan kodam baru di 3 provinsi anyar imbas pemekaran juga dikhawatirkan memperburuk situasi kemanusiaan di sana.

Masuknya aparat keamanan dalam jumlah besar dianggap selaras dengan keperluan mengamankan investasi dan bisnis serta meredam aspirasi kemerdekaan Papua.

"Personel polda Papua pada 2021 sekitar 11.000 personel. Maka dengan adanya 3 provinsi baru, angka ini (secara kasar) bisa bertambah 3 kali lipat," ujar Direktur Eksekutif Public Virtue Institute Miya Irawati, dalam diskusi virtual, 14 April 2022.

Ia juga menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait besarnya kontribusi korporasi-korporasi pertambangan dan penggalian di Papua atas pendapatan domestik regional bruto (PDRB) wilayah tersebut, yakni 28,27 persen per 2020 lalu.

"Untuk kepentingan siapa penambahan kodam atau polda (melalui 3 provinsi baru), untuk Papua, untuk negara, atau untuk melindungi perusahaan di Papua?" ungkap Miya.

Tanpa pemekaran saja, Kabupaten Intan Jaya yang kerap jadi pusat konflik antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengalami lonjakan pos militer dari 2 pada 2019 menjadi 17 pos pada 2021 karena "alasan keamanan", berdasarkan data Amnesty Internasional.

"Laporan Amnesty terbaru memberi penjelasan betapa pembunuhan di luar hukum masih terjadi di Papua, khususnya di Intan Jaya. Dan bukan hanya pembunuhan tetapi juga kekerasan, pengungsian, dan juga pelanggaran HAM lainnya," ujar Usman.

https://nasional.kompas.com/read/2022/07/01/09111451/3-provinsi-baru-di-papua-disahkan-antara-mitos-kesejahteraan-dan-kuasa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke