Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Provinsi Baru di Papua Disahkan: Antara Mitos Kesejahteraan dan Kuasa Jakarta di Bumi Cenderawasih

Kompas.com - 01/07/2022, 09:11 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

Potensi konflik sosial dan pelanggaran HAM

Segala kemelut pemekaran Papua diprediksi bakal memperuncing konflik di Bumi Cenderawasih. Apalagi, pemekaran ini dianggap tidak dengan kajian ilmiah yang mendalam serta memperhitungkan situasi antropologis di Papua yang sangat beragam.

Ambil contoh, pembentukan Provinsi Papua Tengah dengan ibu kotanya di Nabire diprediksi bakal memicu gesekan.

Wilayah Nabire, secara adat, lebih dekat dengan wilayah adat Saireri. Sementara itu, mayoritas wilayah Papua Tengah, seperti Mimika, merupakan wilayah adat Meepago.

"Di Nabire sendiri ada beberapa kelompok yang berbeda pendapat menolak jadi ibu kota provinsi, maunya gabung dengan Saireri. Perbedaan pendapat ini akan menimbulkan konflik," ungkap pegiat hak asasi manusia sekaligus pemuka Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, Dora Balubun, kemarin.

Ia mengeklaim bahwa potensi konflik itu tercermin pula di level elite ketika Komisi II DPR RI berkunjung ke Merauke dan Jayapura pada akhir pekan lalu.

"Itu beberapa bupati bersitegang, seperti Bupati Nabire dan Mimika, untuk siapa yang ibu kotanya menjadi ibu kota provinsi," kata Dora.

Di sisi lain, pengerahan pasukan dalam jumlah besar lewat polda dan kodam baru di 3 provinsi anyar imbas pemekaran juga dikhawatirkan memperburuk situasi kemanusiaan di sana.

Masuknya aparat keamanan dalam jumlah besar dianggap selaras dengan keperluan mengamankan investasi dan bisnis serta meredam aspirasi kemerdekaan Papua.

"Personel polda Papua pada 2021 sekitar 11.000 personel. Maka dengan adanya 3 provinsi baru, angka ini (secara kasar) bisa bertambah 3 kali lipat," ujar Direktur Eksekutif Public Virtue Institute Miya Irawati, dalam diskusi virtual, 14 April 2022.

Ia juga menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait besarnya kontribusi korporasi-korporasi pertambangan dan penggalian di Papua atas pendapatan domestik regional bruto (PDRB) wilayah tersebut, yakni 28,27 persen per 2020 lalu.

"Untuk kepentingan siapa penambahan kodam atau polda (melalui 3 provinsi baru), untuk Papua, untuk negara, atau untuk melindungi perusahaan di Papua?" ungkap Miya.

Tanpa pemekaran saja, Kabupaten Intan Jaya yang kerap jadi pusat konflik antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengalami lonjakan pos militer dari 2 pada 2019 menjadi 17 pos pada 2021 karena "alasan keamanan", berdasarkan data Amnesty Internasional.

"Laporan Amnesty terbaru memberi penjelasan betapa pembunuhan di luar hukum masih terjadi di Papua, khususnya di Intan Jaya. Dan bukan hanya pembunuhan tetapi juga kekerasan, pengungsian, dan juga pelanggaran HAM lainnya," ujar Usman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com