Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Provinsi Baru di Papua Disahkan: Antara Mitos Kesejahteraan dan Kuasa Jakarta di Bumi Cenderawasih

Kompas.com - 01/07/2022, 09:11 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

Hal ini tampak dari apa yang sudah terjadi di tingkat kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat. Pemekaran wilayah justru jadi ajang elite-elite lokal berebut jabatan di birokrasi, akses anggaran, proyek, dan kue-kue kekuasaan lainnya.

Beberapa kepala daerah, sebut saja eks Bupati Maybrat Bernard Sagrim dan eks Bupati Sorong Selatan Otto Ihalauw, sudah terjerat kasus korupsi.

Baca juga: Akan Ada IKN dan 3 Provinsi Baru di Papua, KPU Ingin UU Pemilu Direvisi Sebelum 2023

“Saya kira ujungnya kita akan melihat terbentuknya kelompok-kelompok kelas menengah, elite lokal yang sejahtera karena pemekaran ini. Di sisi lain, masyarakat kecil tidak akan pernah mendapatkan kesejahteraan karena memang sirkulasi kekuasaannya ada di tangan mereka (elite),” ungkapnya.

Presiden Joko Widodo bahkan mengundang diam-diam sejumlah anggota MRP yang mendukung pemekaran ke Istana pada 20 Mei 2022, tanpa bersurat resmi ke MRP. Agenda itu berlangsung tertutup.

Mitos kesejahteraan

Pemerintah dan DPR selalu berdalih soal misi pemerataan pembangunan maupun peningkatan kesejahteraan di balik pemekaran Papua.

“Kita punya semangat yang sama untuk mempercepat pembangunan Papua dan juga untuk menyejahterakan rakyat, terutama orang asli Papua,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.

Namun, data dan fakta bicara lain.

Baca juga: Pengesahan 3 UU Provinsi Baru di Papua Saat UU Otsus Masih Diuji Dinilai Rawan Inkonstitusional

Studi Bappenas pada 2001-2007, daerah pemekaran tidak lebih baik ketimbang daerah induk setelah 5 tahun. Situasi pasca-pemekaran tidak kondusif bagi daerah baru untuk segera menggerakkan perekonomian.

Hasil evaluasi dan laporan BPK pada 2019 juga menunjukkan bahwa sumber pendapatan sebagian besar daerah pemekaran sejak tahun 1999 hingga 2014 masih tergantung pada APBN dan belum mampu mandiri.

Ini yang membuat pemerintah menempuh moratorium pemekaran wilayah.

“Porsi PAD-nya (pendapatan asli daerah) masih berada di bawah dana transfer pusat. Ini salah satu alasannya itu,” ungkap Wakil Presiden Ma’ruf Amin, 4 Desember 2020, dikutip situs resmi wapres.go.id.

Tak terkecuali Provinsi Papua Barat yang mekar dari Papua pada 1999. Rata-rata transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari pemerintah pusat selama 5 tahun terakhir, menurut data Kementerian Keuangan, berkontribusi pada 84,3 persen APBD seprovinsi Papua Barat.

Data Kementerian Dalam Negeri, PAD Papua Barat dan Papua hanya 6,15 persen dan 11,96 persen, terendah secara nasional pada 2021. Di Papua, angka itu besar karena keberadaan PT Freeport.

Mitos kesejahteraan ini semakin kuat jika menilik indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua.

“Di kabupaten/kota yang didominasi oleh penduduk non-Papua, IPM-nya tinggi, bisa mencapai 70-73. Namun, wilayah-wilayah yang didominasi oleh masyarakat Papua, IPM-nya masih rendah,” kata Usman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com