Tiga tahun berselang, polemik RKUHP kembali mengemuka.
Pembahasannya kini bergulir lagi. Pemerintah dan DPR pun telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas revisi UU ini.
Semula, revisi KUHP ditargetkan rampung pada Juli ini. Namun, pemerintah berdalih draf RKUHP belum selesai sehingga pengesahannya akan ditunda.
Baca juga: Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah di RKUHP Dipertahankan, Ini Alasannya
"Enggak-enggak (tidak akan disahkan Juli ini). Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/6/2022).
Kendati sudah dibahas lagi, pemerintah hingga kini belum mau membuka draf terbaru RUU tersebut. Desakan publik agar pemerintah membuka draf terbaru rancangan undang-undang itu pun terus dilakukan.
Sampai saat ini, yang beredar di masyarakat merupakan draf RKUHP lama di tahun 2019 yang pengesahannya dibatalkan Presiden Jokowi.
Wamenkumham beralasan, ada sejumlah hal yang membuat pemerintah belum bisa membuka draf terbaru RKUHP ke publik.
Misalnya, secara prosedur, pihaknya harus lebih dulu menyerahkan draf tersebut ke DPR sebelum dipublikasikan.
"Itu sama dengan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) minta dibuka, 'belum, nanti sampai ke DPR. DPR terima secara resmi, baru kita buka'. Begitu memang prosedurnya," kata Eddy, sapaan Edward, saat ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (22/6/2022).
Baca juga: Saat RKUHP Picu Demo Besar Mahasiswa pada 2019...
Eddy juga mengungkap, ada sejumlah kendala dalam menyusun dan meneliti kembali draf RKUHP sebelum diserahkan ke DPR. Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.
Menurut Eddy, pihaknya menemukan sejumlah kekeliruan dalam draf RKUHP sehingga tidak bisa membukanya ke publik sebelum diserahkan ke DPR.
"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca," kata Eddy.
Selain itu, kata Eddy, meneliti draf RKUHP memakan waktu yang cukup lama karena dilakukan secara rinci. Langkah ini demi menghindari kekeliruan fatal.
Dia mencontohkan ada pasal yang dihapus, tetapi ternyata masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal yang dihapus tadi.
"Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta Kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ," ucapnya.