Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengingat Lagi Instruksi Jokowi soal Revisi KUHP: Perbaikan Pasal Bermasalah hingga Pelibatan Publik

Kompas.com - 30/06/2022, 06:15 WIB
Fitria Chusna Farisa

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Masih lekat dalam ingatan masyarakat, September 2019 lalu Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya supaya menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Saat itu, RKUHP hendak dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan. Rencana pengesahan ini telah disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah.

Kesepakatan diambil dalam Rapat Kerja Pembahasan Tingkat I RKUHP antara Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 18 September 2019.

Baca juga: Beragam Alasan Pemerintah Tolak Buka Draf Terbaru RUU KUHP

Namun, terjadi demonstrasi besar-besaran dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah menolak pengesahan rancangan undang-undang tersebut.

Di Jakarta, unjuk rasa digelar di depan Gedung DPR/MPR RI pada 19 September 2019. Demonstrasi bahkan berujung ricuh di sejumlah daerah.

Massa ramai-ramai menuntut DPR dan pemerintah membatalkan pengesahan RKUHP lantaran sejumlah pasalnya dinilai bermasalah.

Para pembuat undang-undang mulanya bergeming, sampai akhirnya presiden turun tangan.

Kala itu, Jokowi tidak hanya memerintahkan jajarannya menunda pembahasan RKUHP, tetapi juga memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang bermasalah, serta melibatkan seluruh kalangan dalam pembahasan.

Instruksi Jokowi

Jokowi menyampaikan perintah penundaan pengesahan RKUHP pada 20 September 2019, empat hari sebelum rapat paripurna pengesahan RUU tersebut digelar.

Kala itu, dia memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly untuk menyampaikan sikap pemerintah ini ke DPR.

Baca juga: RKUHP Tak Jadi Disahkan Juli Ini

"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).

Jokowi mengaku mengambil sikap ini setelah mencermati masukan berbagai kalangan yang keberatan dengan beberapa pasal di RKUHP.

"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang butuh pendalaman lebih lanjut," kata dia.

Kala itu, Jokowi juga memerintahkan Menkumham untuk menampung masukan dari berbagai kalangan dalam proses revisi KUHP.

"Memerintahkan Menteri Hukum dan HAM, untuk mencari masukan-masukan dari berbagai kalangan masyarakat, sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada," ucap kepala negara.

Dibahas lagi

Tiga tahun berselang, polemik RKUHP kembali mengemuka.

Pembahasannya kini bergulir lagi. Pemerintah dan DPR pun telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas revisi UU ini.

Semula, revisi KUHP ditargetkan rampung pada Juli ini. Namun, pemerintah berdalih draf RKUHP belum selesai sehingga pengesahannya akan ditunda.

Baca juga: Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah di RKUHP Dipertahankan, Ini Alasannya

"Enggak-enggak (tidak akan disahkan Juli ini). Karena minggu depan sudah reses (DPR). Sementara kita masih memperbaiki draf," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/6/2022).

Kendati sudah dibahas lagi, pemerintah hingga kini belum mau membuka draf terbaru RUU tersebut. Desakan publik agar pemerintah membuka draf terbaru rancangan undang-undang itu pun terus dilakukan.

Sampai saat ini, yang beredar di masyarakat merupakan draf RKUHP lama di tahun 2019 yang pengesahannya dibatalkan Presiden Jokowi.

Wamenkumham beralasan, ada sejumlah hal yang membuat pemerintah belum bisa membuka draf terbaru RKUHP ke publik.

Misalnya, secara prosedur, pihaknya harus lebih dulu menyerahkan draf tersebut ke DPR sebelum dipublikasikan.

"Itu sama dengan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) minta dibuka, 'belum, nanti sampai ke DPR. DPR terima secara resmi, baru kita buka'. Begitu memang prosedurnya," kata Eddy, sapaan Edward, saat ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (22/6/2022).

Baca juga: Saat RKUHP Picu Demo Besar Mahasiswa pada 2019...

Eddy juga mengungkap, ada sejumlah kendala dalam menyusun dan meneliti kembali draf RKUHP sebelum diserahkan ke DPR. Apalagi RKUHP berisi 628 pasal yang beberapa di antaranya ada yang saling terkait.

Menurut Eddy, pihaknya menemukan sejumlah kekeliruan dalam draf RKUHP sehingga tidak bisa membukanya ke publik sebelum diserahkan ke DPR.

"Mengapa kita belum serahkan? Itu masih banyak typo. Dibaca, kita baca," kata Eddy.

Selain itu, kata Eddy, meneliti draf RKUHP memakan waktu yang cukup lama karena dilakukan secara rinci. Langkah ini demi menghindari kekeliruan fatal.

Dia mencontohkan ada pasal yang dihapus, tetapi ternyata masih ada pasal lain yang merujuk pada pasal yang dihapus tadi.

"Kita enggak mau seperti waktu UU Cipta Kerja itu terjadi lho. Bilang ayat sekian, padahal enggak ada ayatnya. Itu yang bikin lama di situ," ucapnya.

Pasal bermasalah

Merujuk draf RKUHP yang beredar di tahun 2019, ada sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dalam rancangan undang-undang tersebut.

Pasal itu mulai dari penghinaan terhadap pemerintah, penghasutan untuk melawan penguasa umum, dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.

Ada pula pasal hukum yang hidup, pasal kumpul kebo, pasal penyiaran berita bohong, pasal penghinaan terhadap pengadilan, pasal penghinaan agama, hungga pasal mengenai pencemaran nama baik.

Baca juga: Pasal-pasal Kontroversial RKUHP yang Ancam Perbuatan Penghinaan terhadap Penguasa

Dari sejumlah pasal itu, yang paling banyak mendapat sorotan adalah terkait pidana perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Dalam draf RKUHP tahun 2019, perbuatan yang dianggap menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta wakil presiden diancam hukuman maksimal 3,5 tahun penjara. Perihal tersebut diatur dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat (1).

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," lanjutan Pasal 218 Ayat (2).

Baca juga: Tuntutan soal RKUHP Belum Dipenuhi, Mahasiswa Siap Bikin Demo yang Lebih Besar dari 2019

Hukuman terhadap penyerangan kehormatan dan martabat presiden bisa diperberat menjadi 4,5 tahun jika dilakukan menggunakan sarana teknologi informasi. Ini diatur dalam Pasal 219 draf RKUHP.

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal tersebut.

Kemudian, pada Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan, harkat dan martabat presiden dan wakil presiden ini hanya dapat dituntut jika ada aduan. Pengaduan itu dapat dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com