JAKARTA, KOMPAS.com - Masih lekat dalam ingatan publik kisah sepasang suami istri asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Fidelis Arie Sudewarto dan Yeni Irawati.
Awal 2017, kisah keduanya menjadi sorotan lantaran perjuangan Fidelis menyembuhkan penyakit sang istri tercinta menggunakan ganja medis justru mengantarkannya ke penjara.
Cerita bermula ketika awal Januari 2016, Yeni Irawati didiagnosis mengidap syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan atau syrinx dalam sumsum tulang belakang.
Baca juga: Mengenal Pasal tentang Larangan Ganja Medis di UU Narkotika yang Digugat ke MK
Penyakit syringomyelia membuat kondisi tubuh Yeni memprihatinkan. Dia sulit tidur hingga berhari-hari.
Yeni juga tidak bisa mengeluarkan urine hingga perutnya membesar. Atau sebaliknya, tak bisa mengendalikan kencing karena terjadi pembengkakan di sekitar kemaluan.
Setiap makanan yang Yeni telan tak berapa lama kemudian dimuntahkan kembali. Selain itu, terdapat luka besar dan dalam di pinggang bagian belakang yang membuat tulang Yeni terlihat.
Kaki Yeni juga sering mengalami kram dan kebas dengan rasa sakit yang kadang membuatnya harus berteriak menahan kesakitan.
Yeni juga kerap kali mengeluarkan keringat berlebihan, sekalipun cuaca dingin atau dalam ruang yang dilengkapi AC.
Sejak saat itu, Fidelis merawat Yeni di rumahnya. Fidelis yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sanggau membaca banyak panduan perawatan penyakit syringomyelia dari berbagai literatur.
Baca juga: Pro Kontra Upaya Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis di Indonesia
Sejumlah pengobatan diupayakan Fidelis untuk kesembuhan istrinya, mulai dari obat medis, obat herbal, bahkan orang pintar. Namun, upaya itu tak mampu mengembalikan kondisi fisik Yeni.
Berbekal literatur-literatur yang didapatkan dari luar negeri, Fidelis akhirnya menerapkan pengobatan ekstrak ganja untuk Yeni. Ganja itu ditanam Fidelis di rumahnya sendiri.
Kakak kandung Fidelis, Yohana LA Suyati, kala itu mengatakan, kondisi Yeni berangsur-angsur membaik setelah mendapat pengobatan ganja.
Nafsu makannya mulai meningkat dan tidurnya bisa pulas sebagaimana orang pada umumnya. Pencernaan Yeni juga mulai lancar, baik itu buang air kecil maupun buang air besar.
Tak hanya itu, lubang-lubang pada sejumlah luka di tubuh Yeni pun perlahan menutup. Pandangan mata dan penglihatan Yeni juga mulai jelas dan ingatannya mulai pulih.
"Yeni juga sudah mulai berbicara tentang harapan atau angan-angannya kalau sudah sembuh dari penyakitnya," kata Yohana, seperti diberitakan Kompas.com, 4 April 2017.
"Misalnya, ia mengatakan kalau sudah sembuh akan membeli sepeda motor baru dan kalau sudah sembuh akan mengadakan misa di rumah dengan mengundang Romo (pastor)," tuturnya.
Namun, keceriaan Yeni itu tak berlangsung lama. Pada 19 Februari 2017, petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Fidelis karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja di rumahnya. Fidelis pun ditahan oleh BNN Kabupaten Sanggau.
Ekstrak ganja untuk Yeni dimusnahkan. Artinya, pengobatan ganja untuk Yeni berakhir.
Dari situ, kondisi Yeni yang semula sempat membaik mengalami kemunduran. Ia kembali mengalami sulit tidur dan nafsu makannya turun.
Luka-luka di tubuh Yeni kembali terbuka, bahkan muncul di tempat baru. Perut Yeni juga perlahan bengkak.
Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi kondisinya tak juga membaik.
Akhirnya, pada 25 Maret 2017 atau tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN, Yeni mengembuskan napas terakhir.
Baca juga: Mengingat Kisah Ibu Musa dan Fidelis dalam Perjuangan Legalisasi Ganja Medis...
"Hanya Fidelis yang tahu bagaimana cara merawat istrinya itu sehingga ketika dia ditahan, kami keluarga juga tidak bisa berbuat banyak. Karena selama ini semuanya dia lakukan sendiri cara perawatannya, termasuk mengatur suhu di kamar," kata Yohana.
Sementara itu, kasus hukum Fidelis terus bergulir. Pada Agustus 2017, dia divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar atau subsider 1 bulan kurungan.
Putusan itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang menuntut 5 bulan penjara dan denda Rp 800 juta.
Oleh majelis hakim, perbuatan Fidelis dinilai memenuhi unsur dalam Pasal 111 dan 116 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Kala itu, Fidelis mengaku kecewa atas vonisnya. Penjara sekalipun tak mampu mengembalikan nyawa istri tercintanya.
"Saya kecewa, karena toh istri saya nyawanya tak terselamatkan," kata Fidelis dengan suara berat menahan tangis usai sidang putusan di Pengadilan Negeri Sanggau, 2 Agustus 2017.
Baca juga: Akhir Perjuangan Suami yang Obati Istrinya dengan Ganja, Fidelis Bebas dari Penjara
Kisah ini sempat mengundang perhatian dan simpati publik. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyesalkan pemidanaan terhadap Fidelis.
Namun demikian, Fidelis tetap menjalani hukumannya hingga bebas 9 bulan setelah ditahan atau pada 16 November 2017.
"Yang pasti saya sangat senang, banyak berucap syukur akhirnya saya dinyatakan bebas," ujar Fidelis.
Berangkat dari kisah Fidelis dan Yeni, diskursus legalisasi ganja medis di Indonesia bolak-balik disuarakan, meski hingga kini belum terealisasi.
Kini, wacana legalisasi ganja medis hidup kembali. Hal ini menyusul aksi Santi Warastuti, seorang ibu yang putrinya mengidap cerebral palsy, yang kini tengah mengajukan gugatan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena penyakitnya, putri Santi membutuhkan pengobatan cannabis oil (CBD) yang terbuat dari ekstrak ganja.
Namun, karena UU Nomor 35 Tahun 2009 melarang penggunaan narkotika untuk kepentingan medis, pengobatan ini menjadi terhalang.
Santi tak sendiri. Ia menggugat ketentuan mengenai larangan penggunaan ganja medis di UU Narkotika bersama dua orang lainnya.
Dua orang tersebut ialah Dwi Pertiwi, ibu dari Musa IBN Hassan Pedresen yang juga mengalami cerebral palsy. Belum sempat mendapatkan pertolongan ganja medis, Musa mengembuskan napas terakhir sebulan setelah ibunya mengajukan gugatan ke MK atau 26 Desember 2020.
Penggugat ketiga juga merupakan seorang ibu bernama Nafiah Muharyanti. Putri Nafiah, Masayu, mengidap epilepsi dan diplegia spactic yang juga merupakan bentuk dari cerebral palsy.
Ibu Santi saat CFD di Jakarta viral di medsos karena butuh ganja medis.
Hampir dua tahun sejak gugatan diajukan, MK tak kunjung memutuskan perkara ini. Akhirnya, Santi melakukan aksi membawa poster bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" di Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta pada Minggu (26/6/2022).
Baca juga: Pemerintah Kaji Legalitas Ganja untuk Keperluan Medis
Unggahan mengenai aksi ini lantas viral di media sosial dan berujung pada terbukanya kembali wacana legalisasi ganja medis di Indonesia.
Terkait hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengaku akan mengkaji kemungkinan legalisasi ganja medis seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tak hanya itu, Wakil Presiden sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin bahkan meminta MUI membuat fatwa mengenai wacana penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.