JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai bersikap otoriter karena tertutup dalam proses pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Padahal, keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran atau mengkritik pembahasan materi atau proses penyusunan undang-undang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Hak masyarakat untuk mengetahui perkembangan penyusunan RKUHP juga dijamin melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Ya sikap ini yang aneh dari pemerintah. Seharusnya justru RUU disosialisasikan sebelum diundangkan. Terlepas dari isinya, sikap ini merupakan sikap otoriter yang melawan demokrasi," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/6/2022).
Baca juga: Pengamat: RKUHP Terancam Cacat Formil jika Pembahasannya Tak Terbuka
Pada 2019 lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat I tetapi urung dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan akibat masifnya penolakan masyarakat.
Kemudian pada 25 Mei 2022 digelar Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan Komisi III DPR.
Saat itu, Kemenkumham yang mewakili pemerintah menyampaikan 14 isu krusial dalam RKUHP kepada Komisi III DPR pasca pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir.
Komisi III DPR lantas menyatakan menyetujui 14 isu krusial itu dan akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: DPR dan Pemerintah Diminta Ulang Pembahasan RKUHP dari Tingkat I
Keputusan itu membuat langkah selanjutnya dalam pembahasan RKUHP adalah tahap Pembicaraan Tingkat II serta pengesahan saat Rapat Paripurna.
Pemerintah dan Komisi III DPR berencana menyelesaikan pembahasan RKUHP pada Juli 2022 mendatang.
Aliansi nasional reformasi KUHP mencatat 11 kegiatan sosialisasi tersebut diselenggarakan di Medan pada 23 Februari 2021, Semarang pada 4 Maret 2021, Bali pada 12 Maret 2021, Yogyakarta pada 18 Maret 2021, dan Ambon pada 26 Maret 2021.
Kemudian di Makassar pada 7 April 2021, Padang pada 12 April 2021, Banjarmasin pada 20 April 2021, Surabaya pada 3 Mei 2021, Lombok pada 27 Mei 2021, dan Manado pada 3 Juni 2021.
Namun obyek utama dari sosialisasi tersebut yakni draf RKUHP baru diberikan aksesnya hanya kepada peserta sosialisasi di Manado.
Baca juga: Penerapan Hukum yang Hidup pada RKUHP Dinilai Dapat Memunculkan Tindakan Kriminalisasi
Akses dokumen RKUHP tersebut sangat eksklusif karena hanya dibagikan khusus kepada peserta yang hadir secara luring di Hotel Four Point Manado maupun yang hadir secara online melalui kanal Zoom.
Padahal, draf tersebut seharusnya dapat diakses melalui Kemenkumham maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Baik berupa offline maupun online lewat website yang bisa mudah diakses masyarakat.
Menurut Abdul, sikap seolah menyembunyikan materi rancangan RKUHP seperti itu tidak patut dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Sebab, RKUHP akan menjadi landasan penegakan hukum pidana dan berlaku terhadap semua warga Indonesia.
"Seharusnya ada keterbukaan baik dari DPR maupun pemerintah bahwa akan mengesahkan undang-undang yang akan menyangkut dan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan orang Indonesia, yaitu perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana," ucap Abdul.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Diminta Buka Partisipasi Publik, Jangan Buru-Buru Sahkan RKUHP
"Semua orang Indonesia harus diinformasikan agar ketika hukum pidana diterapkan justru dapat mencegah terjadinya kejahatan," lanjut Abdul.
Divisi Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi dalam keterangan pers menyatakan, pada Juni 2021 lalu tim pemerintah juga sempat menolak membuka draf terbaru yang dihasilkan dari serangkaian proses pertemuan yang dilakukan dengan alasan belum diserahkan kepada DPR.
Akan tetapi, setelah disampaikan kepada DPR, pemerintah masih juga berkelit dan menolak membuka draft RKUHP tersebut.
"Mengenai pentingnya keterlibatan publik ini, Putusan Mahkamah Konstitusi MK 91/PUU-XVIII/2020 turut mengingatkan bahwa tidak terpenuhinya aspek partisipasi bermakna ini mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang memiliki cacat formil," kata Fajri.
"Gairah memutus rantai dengan produk kolonial seharusnya tidak mengkhianati esensi dari pembentukan undang-undang yaitu terpenuhinya rasa keadilan dan pemenuhan etika partisipasi keterwakilan publik. Oleh karena itu, jangan sampai dalih percepatan proses menutupi perwujudan keadilan bagi masyarakat," ucap Fajri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.