ADA satu tradisi pertandingan sepak bola di benua Afrika yang disebut Kasi Flava. Kasi Flava adalah gaya atau seni bermain bola ala benua hitam, di mana dalam pertandingan tersebut para pemain lebih mengutamakan skil dengan gaya–gaya atraktif.
Kasi diartikan sebagai tempat atau lokasi dan Flava adalah rasa atau gaya. Terjemahan umumnya diartikan sebagai tempat untuk bergaya.
Gaya bermain bola jalanan ala negeri nelson Mandela ini sangat menarik dan penuh atraksi bagi penikmat bola.
Tidak berbeda jauh dengan gaya negara–negara demokrasi prosedural yang bekembang di era digital saat ini.
Tidak bisa disangkal kalau demokrasi menjadi satu paham yang populer semenjak berakhirnya perang dunia II. Gagasan “freedom” dengan mudah mendapat dukungan dari berbagai negara dan penduduknya.
Dukungan ini berangkat dari kondisi masyarakat yang sebagian besar berada dalam kolonialisme dan ketertindasan, sehingga demokrasi menjadi kue empuk untuk dicerna.
Jika dilihat lebih jauh, demokrasi memang sudah muncul semenjak Piagam Magna Carta yang membatasi monarki Inggris pada 15 Juni 1215.
Demokrasi memang asik untuk dinikmati sebagai satu konsep, tetapi praktiknya seperti memancing di air keruh.
The Economist Intelligence (EIAU) pada 2021 merilis laporan indeks demokrasi dunia. Dalam data tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dengan skor 6,71 (databoks.katadata.co.id).
EIAU mengelompokkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat (flawed democracy). Meskipun cacat, secara statistik indeks demokrasi Indonesia masih lebih baik dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64.
Salah satu alat untuk mengukur indeks demokrasi oleh EIAU adalah pemilu. Semenjak 2004, kita memang dihadapkan dengan kenyataan demokrasi langsung.
Secara konstitusi warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih pemimpinnya secara langsung melalui bilik suara.
Praktik pemilu langsung ini tidak terlepas dari kesadaran politik warga negara yang terus mengalami pertumbuhan seiring dinamika politik nasional dengan berbagai gesekan maupun tanpa gesekan.
Kita tahu bahwa partisipasi politik pemilih setiap pemilu selalu mengalami kenaikan. Pada pemilu 2019 menyentuh angkah 82 persen.
Ini menandakan, secara kuantitas masyarakat kita perlahan sadar eksistensinya sebagai warga negara untuk menopang berkembangnya demokrasi di republik ini.
Terlepas dari apakah angka tersebut menunjukan kualitas politik nasional dan lokal kita, tentu itu menjadi indikator analisis tersendiri untuk meninjau sejauh mana kualitas dan pengaruh partisipasi politik pemilih dalam percaturan demokrasi elektoral.
Perkembangan demokrasi Indonesia semenjak reformasi tidak terlepas dari konstelasi pemilihan umum langsung.
Keterlibatan sipil dan partai politik menjadi indikator penting dalam mengaplikasikan konsep demokrasi seperti apa yang diinginkan negeri ini.
Pihak yang memenangkan pemilu dengan jalan politiknya dan pihak kalah mengambil tempat sebagai oposisi. Ketersinggungan ini diperlukan untuk mempertajam demokrasi sebagai sebuah gagasan praktis.
Oposisi tentu memiliki ruang tersendiri dalam mengontrol pemerintah ketika mengambil kebijakan.
Tetapi saat ini ketika lembaga legislatif tidak berperan lagi sebagai institusi pengontrol arah kebijakan eksekutif, maka publik bisa mengambil ruang ini.
Fungsi kontrol publik kepada pemerintahnya bisa dengan berbagai metode populer seperti media sosial.
Baru-baru ini kita melihat bagaimana warga negara menggugat Presiden Jokowi soal minyak goreng di Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN).
Artinya bahwa fungsi kontrol itu bisa kembali lagi kepada warga sebagai akibat dari sikap elite dan lembaga kontrol negara yang tidak berfungsi optimal.