Arena politik Indonesia bisa dilihat sebagai parade Kasi Flava yang memainkan pertandingan dengan “mengolok” lawan-lawannya. Ada keterampilan, strategi, dan komunikasi yang ditampilkan dalam pertandingan tersebut.
Hal ini lumrah ketika memasuki tahun politik, di mana pemain akan mengupayakan berbagai “gaya” agar mental lawan bisa tunduk.
Negara dengan kekuatan demokrasi prosedural seperti Indonesia tentunya mencoba membatasi ruang gerak praktik koruptif dalam pemilu.
Bahkan rencana penerapan electronic voting (e-voting) pada pemilu 2024, menuai kritik. Sejumlah pihak merasa perlu ada kajian mendalam soal penerapannya.
Memang di atas kertas e-voting baik untuk menjaga efisiensi dan efektivitas dalam pemilu. Namun apakah metode digital tersebut mampu memberikan kualitas pemilu yang baik?
Atau sebaliknya membuat elite Kasi Flava memanfaatkan e-voting sebagai arena “senggol digital” antarpendukung grassroot dan antarelite.
Praktik saling siku di medsos adalah bukti bahwa teknologi masih disalah fungsikan oleh masyarakat dan menjadi ladang bagi politisi untuk menempatkan posisi di hati rakyat.
Demokrasi elektoral selalu didekatkan dengan mahalnya ongkos politik. Tidak sekadar keterlibatan aktor politik, tetapi juga peredaran rupiah dalam konstelasi demokrasi nasional maupun lokal yang masif dan sampai di pintu rumah warga.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sudah menyepakati anggaran pelaksanaan Pemilu 2024, yakni Rp 76,6 triliun (dprd.go.id).
Artinya anggaran Pemilu 2024 lebih besar dari Pemilu 2019 yang mencatat angka Rp 25,59 triliun.
Setiap periode pemilu, anggaran dari kantong negara memang cukup besar dan signifikan. Indikator ini menjadi salah satu alasan demokrasi elektoral kita mahal dan masif.
Apa lagi ditopang gaya politik elite kita dengan praktik hedonis ketika ajang pamer pengaruh di tengah masyarakat.
Sudah bukan rahasia umum bahwa sebagian besar oknum elite membangun kerajaan oligarki dengan harta dan relasi sejawat.
Penontonnya adalah kita yang sebenarnya diberikan ongkos tiket masuk menonton pertandingan politik di arena demokrasi era 4.0.
Praktik elektoral kita saat ini menumbuhkan banyak sekali “orang lokal” menjadi “orang kuat lokal”. Baik itu dari segi ekonomi maupun status sosial yang berkembang di daerah tersebut.
Persis pada titik inilah sikap hedonis perlahan tumbuh, bukan saja soal rupiah tetapi juga kekuasaan.
Meskipun demokrasi substansial mengharapkan ada keadilan kesejahteraan bagi semua pihak, tetapi praktiknya kesejahteraan berada dalam hegemoni orang kuat lokal.
Tidak bisa disangkal jika orang lokal adalah sisa-sisa dari gurita kekuasaan zaman orde baru yang berusaha eksis melalui mekanisme pemilu.
Selain itu, komunitas ini didukung oleh eksistensi “darah biru” yang tentunya memiliki basis massa sebagai satu kekuatan politik di era pemilihan umum langsung.
Kekuatan–kekuatan itu pada akhirnya membentuk kerajaan politik baru di daerah dengan berbagai hegemoni baik di bidang ekonomi, sosial dan politik itu sendiri.
Kekuatan lokal tidak bisa dipandang remeh seperti zaman orba. Pertarungan politik akar rumput sangatlah masif dan konfrontasinya nampak di berbagai pelosok.
Tidak heran jika elite bermain sampai di gang-gang sempit, di kampung terjauh, dan sampai ke dapur warga.
Konteks politik hari ini memang bertujuan agar elite bisa dengan seksama merasakan kehidupan warga secara langsung.
Tetapi tidak disangkal juga, beberapa kalangan elite memainkan peran “turun ke jalan” sebagai bentuk sandiwara politik untuk menangkap simpati warga.