Perlahan tapi pasti jembatan menuju 2024 mulai diisi dengan praktik-praktik sandiwara politik seperti ini.
Fenomena politisi memainkan data sebagai basis argumentasi juga akan nampak dalam cerita menuju pemilu 2024.
Sehingga kekuatan data menjadi salah satu kunci menarik pemilih rasional yang sebenarnya perlahan skeptis dengan praktik elektoral saat ini.
Kehidupan politik di era ini layaknya pertandingan Kasi Flava. Segala kemungkinan digunakan untuk merauk simpati publik.
Tontonan politik menuju 2024 menjadi menarik karena publik sulit menafsirkan aktor politiknya berpihak kepada keadilan atau keuntungan.
Beberapa survei sudah dikeluarkan untuk melihat elektabilitas aktor politik yang digadang – gadang menjadi capres 2024.
Misalkan, Lembaga Survei Charta Politika Indonesia merilis 10 tokoh yang menjadi capres mendatang. Elektabilitas tiga tokoh teratas adalah Ganjar Pranowo (36,5 persen), Prabowo Subianto (24,9 persen) dan Anies Baswedan (24,9 persen).
Tentunya ketiga tokoh tersebut memiliki jalan konseptualnya masing–masing dan kekuatan pendukung “garis keras” di berbagai daerah.
Data survei perlu untuk memantau seberapa jauh kekuatan seorang aktor dalam memengaruhi pemilih.
Tetapi dalam politik, hal tidak terduga bisa saja terjadi sebagai bentuk kebebasan pemilih. Misalkan saja dalam survei seorang pemilih menentukan pilihannya kepada aktor A, tetapi ketika di bilik suara pilihannya diganti menjadi aktor B.
Semua kemungkinan bisa terjadi kalau kita melihat demokrasi elektoral republik ini sebagai politik praktis warga. Eksistensi warga sebagai aktor pemilih tentu diuji untuk menjaga kualitas demokrasi.
Kita tahu bahwa kekuatan demokrasi Indonesia tidak hanya berada lingkaran elite, tetapi juga di pundak warga sebagai aktor pemilih yang menentukan pemimpinnya di masa mendatang.
Oleh karena itu, warga secara tidak sadar dibentuk untuk sadar politik dan peduli kepada bangsanya melalui pemilu lima tahun sekali.
Tidak sampai di situ, warga juga memiliki andil dalam mengontrol kebijakan pemerintah agar tidak koruptif dan berpihak kepada kekuasaan.
Saat ini warga memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi, meskipun ada rambu – rambu yang harus ditaati.
Pada prinsipnya kita memiliki cara masing-masing untuk menumbuhkan demokrasi ke arah yang lebih baik.
Polarisasi warga sudah menjadi fenomena biasa ketika memasuki tahun politik. Masing-masing kelompok memiliki referensi tersendiri untuk mendukung politisinya.
Ada banyak indikator untuk mengetahui keberpihakan warga kepada dukungannya, misalkan tokoh populis, tokoh agamis, dan tokoh nasionalis.
Atau referensi kebudayaan seperti ramalan Jaya Baya tentang pemimpin Indonesia yang menjadi rujukan warga memilih pemimpinnya. Semua itu bisa terjadi dalam politik elektoral bangsa Indonesia.
Tetapi apapun referensinya, sebagai bangsa kita tentu berharap bahwa alur bernegara kita tidak terpecah hanya karena kepentingan politik setiap lima tahun.
Sebagai pemilih yang baik tentu kita berharap siapapun pemimpinnya berpihak kepada cita-cita bangsa dan memberikan kesejahteraan kepada semua kalangan tanpa pandang warna politiknya.
Itulah Indonesia, negara hebat yang dapat menyatukan berbagai bahasa, budaya, dan suku dalam lindungan NKRI.
Seharunya kita bisa seperti pendahulu yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Tidak menjadi Kasi Flava hanya dengan gaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.