JAKARTA, KOMPAS.com – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan sejumlah potensi malaadministrasi terkait Reforma Agraria yang merupakan salah satu program prioritas nasional.
Potensi malaadministrasi itu terkait penyelesaian konflik dan redistribusi tanah berupa penundaan yang berlarut, tidak adanya pemberian pelayanan, dan penyalahgunaan wewenang.
Hal itu, ditemukan Ombudsman RI usai menyelesaikan kajian sistemik tinjauan terhadap implementasi Reforma Agraria dalam penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.
“Karenanya perlu perbaikan kebijakan untuk penyelesaian konflik agraria,” ujar Anggota Ombudsman Dadan S Suharmawijaya di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (7/6/2022).
Baca juga: Ombudsman Jateng Minta Pemerintah Kaji Ulang Tiket Candi Borobudur Menjadi Rp 750.000
Dalam kesempatan itu, Dadan pun memaparkan tujuh temuan Ombudsman RI terhadap implementasi Reforma Agraria dalam penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.
Pertama, regulasi atau kebijakan penyelesaian konflik agraria tidak komprehensif. Misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang mengamanatkan penanganan sengketa dan konflik agraria diatur dengan Peraturan Menteri.
"Namun, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan tidak secara spesifik diterbitkan dalam kerangka Reforma Agraria,” terang Dadan.
Kedua, Ombudsman menemukan belum adanya skema layanan administrasi dalam penentuan subjek dan objek pada Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Menurut Dadan, tidak ditemukan regulasi mengenai kriteria pihak-pihak yang dapat mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), termasuk syarat kondisi objek TORA.
Ketiga, belum optimalnya penyelesaian konflik agraria terkait aset negara, aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau kekayaan negara yang dipisahkan dan Kawasan Hutan.
Keempat, terbatasnya kewenangan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dalam Penyelesaian Konflik Agraria.
Kelima, belum adanya resolusi konflik dalam bingkai Reforma Agraria. Keenam, lemahnya koordinasi antar instansi dan terakhir penyelesaian konflik belum menjadi indikator keberhasilan Reforma Agraria.
Berdasarkan temuan tersebut, ujar Dadan, Ombudsman RI pun menyampaikan saran perbaikan kepada institusi terkait dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan.
Lima institusi itu diminta merevisi Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria guna memperkuat substansi penyelesaian konflik agraria dalam konteks Reforma Agraria, termasuk penguatan kewenangan GTRA di pusat dan daerah dalam rangka penyelesaian konflik agraria.
“Ombudsman menyampaikan saran agar instansi terkait merumuskan skema layanan administrasi dan tata kelola penentuan subjek dan objek TORA," papar Dadan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.