Dalam obrolan Kompas.com dan Fitriyan untuk mengonfirmasi unggahannya, kejengkelan tersebut terasa menjadi semakin relevan ketika kita mau makin banyak membaca ulang tulisan-tulisan Syafii Maarif.
Soal ini, rubrik opini harian Kompas kembali menjadi prasasti tentang tantangan Syafii Maarif sebagai guru bangsa yang rasanya tak juga kita jalankan sebagai sebuah bangsa.
Baca juga: Jokowi: Selamat Jalan Sang Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif
Setahun terakhir ini saja, tulisan-tulisan Syafii Maarif di halaman 6 harian Kompas semakin dan makin tajam dan dalam.
Misal, Syafii Maarif menantang nyali kita semua untuk merekonstruksi peristiwa kelam bangsa dengan momentum puncak tragedi pada 30 September 1965.
Tantangan ini kasat mata dan telanjang disampaikannya lewat tulisan berjudul Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah, yang tayang di harian Kompas edisi 1 Oktober 2021.
"Saya cenderung menyetujui teori sejarawan pemikir Italia, Benedetto Croce (1886-1952), yang mengatakan, sejarah ditulis untuk orang hidup, bukan untuk orang yang sudah mati," tulis beliau mengawali tulisan tersebut.
Sangat mungkin bagi beliau, kutipan itu dirasa perlu menjadi kalimat pembuka justru karena kuat dan dalamnya kesadaran dan pemahaman bahwa bisa jadi keputusan-keputusan dan peristiwa-peristiwa yang berentet terjadi terkait tragedi itu diambil, muncul, dan terjadi dalam situasi yang sulit sekaligus rumit.
Pada hari ini, orang-orang yang terlibat dan terkait langsung dengan peristiwa tersebut sudah berpulang. Bagi Syafii Maarif, sekarang adalah waktu bagi kita sebagai bangsa menguak misteri peristiwa 1965.
Pengungkapan ini bukan untuk jadi kajian apalagi pembenaran atau sebaliknya penyangkalan, melainkan justru sebagai bekal bagi kita sebagai sebuah bangsa dan negara.
"Mengapa kita belum juga bersedia untuk membongkar peristiwa berdarah itu dengan kepala dingin? Bukan untuk memperparah luka lama, melainkan untuk berdamai dengan masa lampau, sekalipun getir, demi rekonsiliasi nasional yang mantap," tulis beliau.
Baca juga: Buya Syafii Berpulang, Menag: Indonesia Kehilangan Guru Bangsa
Syafii Maarif tidak naif untuk menyebut pekerjaan ini mudah. Namun, ini hal yang penting dan perlu sehingga layak menjadi keharusan untuk dilakukan, demi sesuatu yang semestinya adalah penting juga bila kita masih bersepakat menjadi Indonesia.
"Pekerjaan ini jelas tidak mudah. Rintangan politik dan psikologis masih belum hilang, tetapi pasti bisa dilakukan. Bangsa ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama berada dalam kebingungan. Semakin jauh jarak kita dari kejadian itu, semakin menjadi kabur pula lensa sejarah yang terlihat," ungkap Syafii Maarif di tulisan tersebut.
Kita—apa pun alasannya—boleh saja jengah dengan pemosisian Pancasila dalam beberapa tulisan Syafii Maarif sebagai titik fokus. Bersabarlah, baca dulu secara keseluruhan, jangan sontak terpaku pada satu kata dan asumsi kita sendiri.
Baca juga: Langit Mendung Iringi Pemakaman Buya Syafii Maarif di Kulon Progo
Tulisan Lumpuhnya Pancasila, misalnya, sedikit banyak menjawab seberapa dalam pemikiran dan kepedulian Syafii Maarif pada bangunan besar bernama Indonesia ini, sekalipun—sekali lagi—seolah berpusar pada jargon ketika semata dilihat sekilas dari judulnya.
Yang terjadi, tulisan ini terasa menelanjangi bahkan diri kita sendiri ketika runtut dan pelan-pelan dibaca utuh.