Tanpa menyebutkan nama yang dimaksud sebagai figur contoh kasus, Syafii Maarif memotret betapa negara dan pemerintah yang mewakili bangsa sebagai pemberi mandat kerap berlaku hipokrit. Penelusuran Kompas.com mendapati figur ini adalah Sjahrir.
Baca juga: Kenang Buya Syafii Maarif, Keuskupan Agung Semarang: Beliau Datang Naik Sepeda Usai Gereja Diserang
Dalam kasus Sjahrir, sosok ini diakui punya peran dan kontribusi penting dalam perjalanan Republik dalam satu masa. Namun, sosok yang sama kemudian juga dicatat sejarah menjadi salah satu tahanan politik pada periode Demokrasi Terpimpin.
Sjahrir diketahui meningga dalam status itu di luar negeri saat berobat. Menjadi terasa hipokrit dan janggal sekaligus membingungkan adalah ketika kemudian orang yang sama juga ditetapkan menjadi pahlawan nasional melalui keputusan presiden tertanggal persis hari kematiannya.
Baca juga: Nasihat Buya Syafii Maarif kepada Jokowi
Membaca naskah-naskah Ahmad Syafii Maarif di rubrik opini harian Kompas pada akhirnya akan bisa mendapati benang merah pesan-pesan yang jauh melampaui topik dan momentum yang dipakai sebagai pemantik.
Karenanya, teguran-teguran keras walau dalam kata-kata santun dan tertata dari Buya sepatutnya tak berhenti disikapi dalam rupa ungkapan-ungkapan duka dan penyematan label guru bangsa di hari-hari pertama dan momentum peringatan-peringatan kepergian almarhum kelak.
Sebagaimana tulisan beliau yang tayang di harian Kompas pada 10 November 2021, Mentereng di Luar, Remuk di Dalam, janganlah kita menjadi negara dan bangsa yang rancak di labuah.
Ungkapan dari ranah Minang ini kurang lebih berarti penampakan yang elok di luar tetapi sejatinya kondisi sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan bisa jadi tak berpunya atau berantakan.
Pesan yang kemudian ditekankan dan ditegaskan Syafii Maarif dalam tulisan itu adalah wasiat bagi negara dan bangsa ini untuk terus dan terus membenahi dapur kita, urusan di dalam negeri dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Buya Syafii Maarif hingga Istri Gus Dur Duduk Bersama, Ini 5 Seruan untuk Indonesia
Jangan lagi dan lagi sengaja melakukan pembiaran untuk ruang hadir luka baru ketika sederet luka lama pun harus diakui tak kunjung mendapat kesempatan sembuh.
Pujian dan pengakuan internasional sekalipun akan kehilangan makna ketika anak bangsa tak mendapatkan apa yang menjadi haknya sembari menjalani kewajibannya, saat negara lewat pemerintah beserta jajaran aparat dan perangkatnya tidak sungguh-sungguh menjalankan mandat dan kewajibannya juga.
Baca juga: Profil Buya Syafii Maarif: Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Pejuang Pendidikan
Dalam tulisan Republik Sapi Perah di harian Kompas edisi 27 Februari 2021, Buya pun mengingatkan bahwa tanpa pembenahan yang mencerabut akar persoalan, Indonesia sebagai negara dan bangsa hanyalah sekumpulan pulau dan segerombolan manusia yang tergantung pada kebaikan alam sebagai penyelamat.
"... yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran total adalah karena alam kita yang dermawan. Lokasinya, alhamdulillah, tidak di selatan Sahara Afrika. Diperas dan diperah, bumi Nusantara ini masih saja sabar. Tetapi akan tahan sampai berapa lama?" tulis dia.
Bila kita sepakat menempatkan Ahmad Syafii Maarif sebagai suluh bangsa, mengakui bahwa ada ruang-ruang gelap yang harus kita benahi lalu bersama-sama menjadikannya terang adalah sebuah langkah mula.
Baca juga: Buya Syafii Maarif: Harus Mencintai Negeri Ini Meskipun Ruwet
Ndherekaken tindak, Buya Ahmad Syafii Maarif. Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu. Aamiin...
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan:
Seluruh naskah harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.