Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Ahmad Syafii Maarif dan Pesan Tantangan untuk Indonesia: Sebuah Obituari

Kompas.com - 28/05/2022, 12:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEDERHANA, lugas, teladan. Tiga kata untuk menggambarkan sosok Ahmad Syafii Maarif. Itu pun terasa terlalu menyederhanakan juga.

Buya, panggilannya, meninggal pada Jumat (27/5/2022) sekitar pukul 10.15 WIB. Ia berpulang pada hari baik. 

Baca juga: Kabar Duka, Mantan Ketum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif Meninggal Dunia

Menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005 barulah satu jejak Syafii Maarif. Tulisan-tulisannya di rubrik opini harian Kompas sedikit banyak lebih jauh menggambarkan sosok, pemikiran, dan kepeduliannya. 

Sosok Ahmad Syafii Maarif hadir bak oase kebijaksanaan di tengah hiruk-pikuk pragmatisme politik dan kehidupan sosial. Pesan-pesannya dalam tulisan di rubrik opini ini hadir menjadi penyegar sekaligus pengingat, bahkan penantang, bagi generasi kita dan mendatang. 

Dalam rombongan tulisan-tulisan awalnya di rubrik opini harian Kompas, Buya misalnya menulis tentang penting dan perlunya membumikan ketulusan.

Tayang di harian Kompas edisi 25 April 2000, topik tersebut beliau dekati dari perspektif agama, salah satu identitas yang harus diakui adalah yang terkuat di Indonesia.

Baca juga: Meneladan Kesederhanaan Buya Syafii Maarif, Hobi Bersepeda dan Naik KRL

Meski saat itu ia menjadi pemimpin salah satu organisasi besar keagamaan, tulisan ini tak semata bicara soal dan dari sudut pandang agamanya sendiri. Justru, fokus besarnya adalah Indonesia sebagai bangsa dan negara, dengan semua agama dan keyakinan yang ada.

"Mengapa agama-agama perlu membicarakan ketulusan? Apakah ketulusan itu? Dapatkah hubungan antarpemeluk agama berlangsung dengan baik dan aman tanpa ketulusan? Ini adalah pertanyaan kunci," tulis Syafii Maarif sebagai pembuka tulisan tersebut.

Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Agama dan Ketulusan yang tayang pada 25 April 2000.ARSIP KOMPAS Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Agama dan Ketulusan yang tayang pada 25 April 2000.

Dalam penyampaian yang tak pernah meledak-ledak, diutarakan dengan santun, runtut, dan tetap padat muatan, pesan-pesan Syafii Maarif mengalir dan mengalun di ruang publik dengan lugas. 

Baca juga: Buya Syafii Maarif Meninggal Dunia, Muhammadiyah dan Indonesia Berduka

Inilah mengapa, sosok Syafii Maarif yang lekat dengan Islam dan Muhammadiyah bisa masuk ke umat lintas agama, jangankan ke kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam perbincangan tentang Islam di Indonesia sering diperhadap-hadapkan dengan organisasinya dalam laku dan ritual keagamaan keseharian.

Tantangan guru bangsa

Dalam banyak ungkapan duka dan kesaksian atas sosok Syafii Maarif, tak dimungkiri penyebutan harfiah dan searti yang bertebaran tentang almarhum adalah guru bangsa.

Namun, Fitriyan Zamzami, seorang jurnalis di media nasional, dalam unggahannya di media sosial mengaku jengkel dengan itu. Bukan jengkel ke Buya, melainkan ke para penyebut sematan guru bangsa itu.

Baca juga: Selamat Jalan Sang Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif...

Adalah percuma, kira-kira begini pembacaan kejengkelannya, menyebut Syafii Maarif sebagai guru bangsa tanpa si penyebut menjalankan apa yang diajarkan sang guru.

Ilustrasi foto wajah Ahmad Syafii MaarifDOK KOMPAS/JITET Ilustrasi foto wajah Ahmad Syafii Maarif

 

Menurut Fitriyan, fenomena ini pun terjadi pada penyebutan serupa bagi banyak sosok besar bangsa yang berpulang atau tiap kali ada momentum untuk mengingat dan mengenang para mendiang.

"Jika mereka-mereka ini (yang telah berpulang) guru bangsa, dia-dia orang (yang memberikan sematan) agaknya terlalu sering bolos sekolah," kecam Fitriyan, Sabtu (28/5/2022) dini hari.

Dalam obrolan Kompas.com dan Fitriyan untuk mengonfirmasi unggahannya, kejengkelan tersebut terasa menjadi semakin relevan ketika kita mau makin banyak membaca ulang tulisan-tulisan Syafii Maarif.

Soal ini, rubrik opini harian Kompas kembali menjadi prasasti tentang tantangan Syafii Maarif sebagai guru bangsa yang rasanya tak juga kita jalankan sebagai sebuah bangsa.

Baca juga: Jokowi: Selamat Jalan Sang Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif

Setahun terakhir ini saja, tulisan-tulisan Syafii Maarif di halaman 6 harian Kompas semakin dan makin tajam dan dalam. 

Misal, Syafii Maarif menantang nyali kita semua untuk merekonstruksi peristiwa kelam bangsa dengan momentum puncak tragedi pada 30 September 1965.

Tantangan ini kasat mata dan telanjang disampaikannya lewat tulisan berjudul Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah, yang tayang di harian Kompas edisi 1 Oktober 2021.

"Saya cenderung menyetujui teori sejarawan pemikir Italia, Benedetto Croce (1886-1952), yang mengatakan, sejarah ditulis untuk orang hidup, bukan untuk orang yang sudah mati," tulis beliau mengawali tulisan tersebut.

Sangat mungkin bagi beliau, kutipan itu dirasa perlu menjadi kalimat pembuka justru karena kuat dan dalamnya kesadaran dan pemahaman bahwa bisa jadi keputusan-keputusan dan peristiwa-peristiwa yang berentet terjadi terkait tragedi itu diambil, muncul, dan terjadi dalam situasi yang sulit sekaligus rumit.

Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Mentereng di Luar, Remuk di Dalam, yang tayang pada 10 November 2021.ARSIP KOMPAS Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Mentereng di Luar, Remuk di Dalam, yang tayang pada 10 November 2021.

Pada hari ini, orang-orang yang terlibat dan terkait langsung dengan peristiwa tersebut sudah berpulang. Bagi Syafii Maarif, sekarang adalah waktu bagi kita sebagai bangsa menguak misteri peristiwa 1965.

Pengungkapan ini bukan untuk jadi kajian apalagi pembenaran atau sebaliknya penyangkalan, melainkan justru sebagai bekal bagi kita sebagai sebuah bangsa dan negara.

"Mengapa kita belum juga bersedia untuk membongkar peristiwa berdarah itu dengan kepala dingin? Bukan untuk memperparah luka lama, melainkan untuk berdamai dengan masa lampau, sekalipun getir, demi rekonsiliasi nasional yang mantap," tulis beliau.

Baca juga: Buya Syafii Berpulang, Menag: Indonesia Kehilangan Guru Bangsa

Syafii Maarif tidak naif untuk menyebut pekerjaan ini mudah. Namun, ini hal yang penting dan perlu sehingga layak menjadi keharusan untuk dilakukan, demi sesuatu yang semestinya adalah penting juga bila kita masih bersepakat menjadi Indonesia.

"Pekerjaan ini jelas tidak mudah. Rintangan politik dan psikologis masih belum hilang, tetapi pasti bisa dilakukan. Bangsa ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama berada dalam kebingungan. Semakin jauh jarak kita dari kejadian itu, semakin menjadi kabur pula lensa sejarah yang terlihat," ungkap Syafii Maarif di tulisan tersebut.

Kita—apa pun alasannya—boleh saja jengah dengan pemosisian Pancasila dalam beberapa tulisan Syafii Maarif sebagai titik fokus. Bersabarlah, baca dulu secara keseluruhan, jangan sontak terpaku pada satu kata dan asumsi kita sendiri.

Baca juga: Langit Mendung Iringi Pemakaman Buya Syafii Maarif di Kulon Progo

Tulisan Lumpuhnya Pancasila, misalnya, sedikit banyak menjawab seberapa dalam pemikiran dan kepedulian Syafii Maarif pada bangunan besar bernama Indonesia ini, sekalipun—sekali lagi—seolah berpusar pada jargon ketika semata dilihat sekilas dari judulnya.

Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Lumpuhnya Pancasila, yang tayang pada 31 Mei 2021. ARSIP KOMPAS Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Lumpuhnya Pancasila, yang tayang pada 31 Mei 2021.

Yang terjadi, tulisan ini terasa menelanjangi bahkan diri kita sendiri ketika runtut dan pelan-pelan dibaca utuh.

Tanpa menyebutkan nama yang dimaksud sebagai figur contoh kasus, Syafii Maarif memotret betapa negara dan pemerintah yang mewakili bangsa sebagai pemberi mandat kerap berlaku hipokrit. Penelusuran Kompas.com mendapati figur ini adalah Sjahrir. 

Baca juga: Kenang Buya Syafii Maarif, Keuskupan Agung Semarang: Beliau Datang Naik Sepeda Usai Gereja Diserang

Dalam kasus Sjahrir, sosok ini diakui punya peran dan kontribusi penting dalam perjalanan Republik dalam satu masa. Namun, sosok yang sama kemudian juga dicatat sejarah menjadi salah satu tahanan politik pada periode Demokrasi Terpimpin.

Sjahrir diketahui meningga dalam status itu di luar negeri saat berobat. Menjadi terasa hipokrit dan janggal sekaligus membingungkan adalah ketika kemudian orang yang sama juga ditetapkan menjadi pahlawan nasional melalui keputusan presiden tertanggal persis hari kematiannya.

Baca juga: Nasihat Buya Syafii Maarif kepada Jokowi

Membaca naskah-naskah Ahmad Syafii Maarif di rubrik opini harian Kompas pada akhirnya akan bisa mendapati benang merah pesan-pesan yang jauh melampaui topik dan momentum yang dipakai sebagai pemantik.

Karenanya, teguran-teguran keras walau dalam kata-kata santun dan tertata dari Buya sepatutnya tak berhenti disikapi dalam rupa ungkapan-ungkapan duka dan penyematan label guru bangsa di hari-hari pertama dan momentum peringatan-peringatan kepergian almarhum kelak.

Baca juga: Kenangan Franz Magnis Suseno soal Buya Syafii Maarif: Beliau Selalu Penuh Perhatian, Seorang Sahabat Betul

Sebagaimana tulisan beliau yang tayang di harian Kompas pada 10 November 2021, Mentereng di Luar, Remuk di Dalam, janganlah kita menjadi negara dan bangsa yang rancak di labuah.

Ungkapan dari ranah Minang ini kurang lebih berarti penampakan yang elok di luar tetapi sejatinya kondisi sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan bisa jadi tak berpunya atau berantakan. 

Pesan yang kemudian ditekankan dan ditegaskan Syafii Maarif dalam tulisan itu adalah wasiat bagi negara dan bangsa ini untuk terus dan terus membenahi dapur kita, urusan di dalam negeri dari Sabang sampai Merauke.

Baca juga: Buya Syafii Maarif hingga Istri Gus Dur Duduk Bersama, Ini 5 Seruan untuk Indonesia

Jangan lagi dan lagi sengaja melakukan pembiaran untuk ruang hadir luka baru ketika sederet luka lama pun harus diakui tak kunjung mendapat kesempatan sembuh.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Salah satu wasiat Ahmad Syafii Maarif

Pujian dan pengakuan internasional sekalipun akan kehilangan makna ketika anak bangsa tak mendapatkan apa yang menjadi haknya sembari menjalani kewajibannya, saat negara lewat pemerintah beserta jajaran aparat dan perangkatnya tidak sungguh-sungguh menjalankan mandat dan kewajibannya juga.

Baca juga: Profil Buya Syafii Maarif: Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Pejuang Pendidikan

Dalam tulisan Republik Sapi Perah di harian Kompas edisi 27 Februari 2021, Buya pun mengingatkan bahwa tanpa pembenahan yang mencerabut akar persoalan, Indonesia sebagai negara dan bangsa hanyalah sekumpulan pulau dan segerombolan manusia yang tergantung pada kebaikan alam sebagai penyelamat.

"... yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran total adalah karena alam kita yang dermawan. Lokasinya, alhamdulillah, tidak di selatan Sahara Afrika. Diperas dan diperah, bumi Nusantara ini masih saja sabar. Tetapi akan tahan sampai berapa lama?" tulis dia.

Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Republik Sapi Perah, yang tayang pada 27 Februari 2021.ARSIP KOMPAS Tangkap layar tulisan opini Ahmad Syafii Maarif di harian Kompas berjudul Republik Sapi Perah, yang tayang pada 27 Februari 2021.

Bila kita sepakat menempatkan Ahmad Syafii Maarif sebagai suluh bangsa, mengakui bahwa ada ruang-ruang gelap yang harus kita benahi lalu bersama-sama menjadikannya terang adalah sebuah langkah mula. 

Baca juga: Buya Syafii Maarif: Harus Mencintai Negeri Ini Meskipun Ruwet

Ndherekaken tindak, Buya Ahmad Syafii Maarif. Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu. Aamiin...

 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

Catatan:

Seluruh naskah harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com