Di Tanah Suci, Syekh Kholil berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, dan Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani.
Syekh Kholil lantas memutuskan kembali ke kampung halamannya setelah menimba ilmu di Makkah. Dia lantas mendirikan pesantren di Jengkebuwen, Madura.
Ulama masyhur itu wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau 24 April 1925 M. Jasadnya dimakamkan di desa Martajasah, Bangkalan, Madura.
Ketua Tim Pengusul Yayasan sekaligus Ketua Kajian Akademik dan Biografi Syaikhona Muhammad Kholil, Muhaimin, dalam seminar bertajuk Syaikhona Kholil: Pejuang Kultural, Guru Para Pahlawan Nasional yang digelar pada 14 Oktober 2021 menyampaikan peran penting Syaikhona.
Ia menyebutkan, Syaikhona merupakan salah satu ulama besar yang berperan dalam melawan kolonialisme. Kemudian Syaikhona juga disebut berperan mengonstruksi Islam Nusantara.
"Eksistensi dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik dan sebagainya sangat besar," tulis Muhaimin, dalam lampiran yang dibacakan saat seminar.
Muhaimin menjelaskan, Syaikhona mengawali jejaring ulama-santri sejak belajar di beberapa pesantren di Jawa. Setelah itu, Syaikhona melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Timur Tengah, yaitu Haramain.
"Sehingga secara transmisi intelektual bersambung ke tokoh-tokoh ulama besar di masanya," tutur Muhaimin.
Baca juga: Syaikhona Kholil Bangkalan Diusulkan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Penjelasan Khofifah...
Setelah mengembara di Timur Tengah, Syaikhona kembali ke Madura. Di sana, ia mendirikan pesantren yang kelak menjadi persemaian jejaring ulama-santri di Tanah Jawa.
Ajaran ngetan dan masantren Menurut Muhaimin, banyak sejarawan mengungkapkan keberadaan Syaikhona sebagai puncak tujuan pengembaraan ilmiah di Jawa.
Salah satu sejarawan yang disebutnya adalah Snouck Hurgronje. Muhaimin mengatakan, Snouck menulis soal temuan ajaran ngetan dan masantren yang terkait dengan Syaikhona.
Adapun ajaran ngetan dan masantren populer di kalangan masyarakat Sunda. Catatan yang sama juga disampaikan oleh seorang peneliti dari Jepang yaitu Hiroko Horikoshi saat melakukan penelitian di Garut pada 1972-1973.
"Dalam wawancaranya dengan sejumlah ulama di Garut, Hiroko Horikoshi mengungkap bahwa mereka mengingat-ingat kakek-neneknya dulu yang mengembara dan nyantri di sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Madura di abad ke-19," ujar Muhaimin.
Hal serupa, lanjut Muhaimin, juga terungkap dalam catatan perjalanan Snouck Hurgronje di pesantren-pesantren Priangan pada 1890-an. Disebut dalam catatan tersebut, banyak anak-anak santri Garut yang berguru ke pesantren-pesantren di Surabaya untuk belajar fiqih atau ke Madura untuk belajar ilmu Nahwu.
"Orang-orang Priangan punya istilah waktu itu ngetan, yang berarti berkelana ke timur, yakni nyantri ke pesantren-pesantren terkenal di Madiun, Surabaya dan Madura," jelas Muhaimin.
Baca juga: Dijuluki Guru Para Pahlawan, Syaikhona Kholil Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional