Hal ini dapat dipahami mengingat pengguna twitter di Indonesia memang kelas menengah-atas (IPSOS, 2016).
Kedua, menurut Beckert (2019), perbincangan digital itu merupakan proses komunikasi intersubjektif, yang juga dapat mendorong valuasi simbolik atas komoditas mobil.
Mereka yang tidak memiliki mobil cenderung ter-eksklusi dari perbincangan twitter di seputar topik mudik karena hanya menjadi “penonton” dan tidak bisa membagikan pengalaman secara aktif dalam perbincangan tersebut.
Dengan menggunakan mobil, pemudik seolah “berwisata” rest area di sepanjang tol trans-Jawa, dan dengan mengonsumsi komoditas yang relatif “mahal”, lalu memposting di media sosial.
Hal ini tetap menjadi “barang mewah” yang tidak terjangkau oleh pemudik non-pengguna mobil.
Belum lagi jika mereka membicarakan pengalaman di jalan tol itu kepada masyarakat di kampung halamannya.
Singkatmya, proses diskursif dan jaringan sosial terkait perbincangan mudik di dunia digital ini semakin memperkuat nilai simbolik-posisional pemudik pengguna mobil.
Booster ekonomi dan kebijakan transportasi
Jelas, bahwa mudik telah menjadi lokus konstruksi nilai simbolik komoditas kendaraan pribadi, khususnya mobil. Terlebih lagi, pada era digital saat ini.
Di satu sisi, mudik yang memiliki akar religi dan sosio-historis masyarakat itu, dapat menjadi booster mesin ekonomi nasional, karena lonjakan konsumsi yang luar biasa.
Di lain sisi mudik juga memberi gambaran keterlekatan komoditas mobil pada struktur dan kultur masyarakat.
Kuatnya nilai simbolik kendaraan pribadi relatif terhadap kendaraan umum itu, mengundang pertanyaan terkait strategi dan kebijakan transportasi publik.
Pertama, soal penyediaan moda transportasi, yang saat ini memang masih bertumpu pada jalan raya, termasuk jalan tol, yang secara fungsional lebih mendukung kepemilikan kendaraan pribadi.
Kedua, soal inefisensi konsumsi bahan bakar. Dengan ketergantungan kita pada harga bahan bakar dunia, maka trend nilai positional mobil itu tentu akan menjadi beban ekonomi nasional.
Ketiga, ini yang justru sangat penting adalah, bila akan dikembangkan transportasi publik, maka selain kualitas dan fungsi materialnya, juga harus dipertimbangkan bagaimana menaikkan nilai simbolik-posisional kendaraan umum relatif dibanding kendaraan pribadi.
Negara yang telah berhasil mengembangkan sistem transportasi publik, seperti Jepang, Perancis dan lainnya, telah memberikan banyak pelajaran (lessons learned) dalam intervensi sosiologis seperti ini.
*One Herwantoko dan Sudarsono, keduanya adalah peneliti pada riset klaster “economy, organization, and society” FISIP Universitas Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.