JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik proses pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) yang hanya memakan waktu kurang dari sepekan.
Bivitri menilai, proses revisi UU PPP yang mulanya diklaim untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Cipta Kerja menjadi ironis lantaran pada praktiknya juga tidak menerapkan partisipasi bermakna.
"Betapa ironisnya, kalau misalnya revisi UU PPP ini diklaim untuk melaksanakan putusan MK Nomor 91 mengenai UU Ciptaker, tapi sebenarnya tidak menerapkan partisipasi bermakna. Sangat ironis," ujar Bivitri dalam diskusi virtual yang diadakan LP3ES, Jumat (15/4/2022).
Baca juga: Ini Alasan Fraksi PKS Tolak Revisi UU PPP Diparipurnakan
Untuk diketahui, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
MK dalam pertimbangannya menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau bersifat revisi.
Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
"RUU PPP ini yang terdampak langsung cukup banyak, kelompok-kelompok yang punya kepentingan dalam proses legislasi dan harus dikaitkan dengan UU Ciptaker," ujar Bivitri.
Bivitri pun menilai, pemerintah salah dalam memaknai putusan MK mengenai UU Cipta kerja yang inkonstitusional secara bersyarat.
Amar putusan MK tidak menyebutkan pemerintah perlu merevisi UU PPP untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
Baca juga: Wakil Ketua DPR Pastikan Revisi UU PPP Belum Disahkan pada Penutupan Masa Sidang Ini
Di sisi lain, amar putusan MK menyebutkan pemerintah harus menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Namun hal tersebut juga tidak dilaksanakan oleh pemerintah.
"Kalau MK memang benar-benar mau pemerintah melanjutkan, MK akan memutusnya konstitusional bersyarat. Yang ini tidak, jelas inkonstitusional bersyarat. Artinya MK bilang berhenti, itu sudah inkonstitusional, tapi silakan perbaiki selama dua tahun. Tapi lihat betapa cepatnya Pak Jokowi sendiri langsung klaim putusan MK ini, tapi salah klaimnyam dan itu yang terus dilaksanakan," ujar Bivitri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.