Berdasarkan draf yang diterima Kompas.com, perkosaan hanya dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual, tanpa ada pasal yang menjelaskan mengenai ketentuan pidananya.
Baca juga: Baleg Sepakat Bawa RUU TPKS ke Rapat Paripurna untuk Disahkan jadi Undang-Undang
Willy menjelaskan, ketentuan mengenai pemerkosaan tidak masuk ke RUU TPKS karena hal itu sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Begitu pula dengan ketentuan mengenai aborsi yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan.
"Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua undang-undang, akan terjadi overlapping," ujar Willy.
Kendati demikian, Willy menyebut, hukum acara yang tertuang di RUU TPKS dapat digunakan untuk menangani kekerasan seksual yang ketentuan pidananya tak diatur dalam RUU ini, termasuk pemerkosaan.
"Yang menjadi keunggulan dari RUU TPKS ini adalah dia punya hukum acara sendiri. Jadi, jenis-jenis KS (kekerasan seksual) yang tidak termaktub di dalam TPKS ini secara eksplisit, dia bisa merujuk ke sini," kata Willy.
Di samping itu, Willy menyebutkan, salah satu terobosan yang tertuang dalam RUU TPKS adalah adanya bantuan dana korban (victim trust fund).
Bantuan dana korban merupakan kompensasi yang diberikan kepada korban kekerasan seksual jika pelaku kekerasan seksual tidak mampu membayar restitusi atau ganti rugi yang dijatuhkan oleh majelis hakim.
"Ketika membayar kompensasi itulah kita membutuhkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sejauh ini, kalau APBN enggak cukup, maka harus ada sebuah dana yang dikelola LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk kemudian memberikan ganti rugi kepada korban," kata Willy.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, dana bantuan korban tidak akan membebani APBN. Sebab, dana tersebut akan berasal dari masyarakat, termasuk para filantropi, tanggung jawab sosial persusahaan (corporate social responsibility), individu, maupun bantuan asing yang bersifat tidak mengikat.
Menurut Eddy, sapaan akrab Edward, pemerintah juga mengonsepkan agar dana bantuan korban bisa diambil dari pidana denda yang dijatuhkan oleh pengadilan.
"Konsep dari menteri keuangan itu sangat baik, kita kan tahu bahwa di dalam undang-undang ini selain pidana penjara juga ada pidana denda, jadi denda itu tidak dimasukkan ke dalam negara tapi dimasukkan dalam dana bantuan korban, jadi ini bersifat dana abadi," kata Eddy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.