Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Kodir
Dosen

Mahasiswa Doktoral Universiy of York, UK. Peneliti di Equator Initiative for Policy Research. Pengurus PCINU UK dan IKA UNAIR UK.

Perempuan dan Kelangkaan Minyak Goreng

Kompas.com - 19/03/2022, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SIAPAKAH pihak yang paling diuntungkan dari kelangkaan minyak goreng di pasar? Tentu saja para mafia, cukong, ataupun penimbun salah satu sembilan bahan pokok itu.

Namun, siapakah pihak yang paling dirugikan? Ya, tentu saja perempuan.

Masyarakat belakangan ini menghadapi satu masalah besar, yakni ketersediaan minyak goreng yang mulai menipis di pasaran.

Hal itu menjadi ironi bagi Indonesia sebagai salah satu negara dengan ladang sawit terluas, kalau kata anggota pelawak srimulat ‘Hil yang mustahal’.

Selain menunjukkan ketidakberdayaan negara atas pasar, kelangkaan minyak goreng juga membuka tabir tentang kerentanan perempuan di Indonesia, khususnya mereka yang menghabiskan waktunya pada ruang domestik.

Menghadapi fenomena ini, para perempuan tersebut rela mengantre selama berjam-jam lamanya, berdesakan, dan menghadapi sengatan matahari hanya untuk mendapatkan minyak goreng.

Apa yang mereka lakukan adalah usaha terbaik demi memastikan makanan untuk keluarganya.

Hal yang membuat kita bersedih sekaligus marah ialah munculnya korban jiwa dari para emak-emak akibat terlalu lama mengantre minyak goreng.

Peristiwa itu terjadi di daerah Berau dan Samarinda, Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu wilayah dengan luas produksi crude palm oil (CPO) terbesar di Indonesia.

Fenomena ini sangat mirip dengan sebuah pepatah, ‘Tikus mati di lumbung padi’. Meski tak pantas, tapi relevan dengan situasi yang tengah terjadi di Indonesia.

Kelas sosial dan langgengnya domestifikasi perempuan

Baru-baru ini, saya mengamati bahwa secara objektif posisi perempuan di Indonesia sangat jauh lebih baik.

Mereka tidak lagi menjadi kanca wingking (teman yang ada di belakang), yang mana bertugas melayani laki-laki atau bahkan keluarga.

Saya melihat, banyak sekali perempuan mulai muncul di ranah publik, menjadi pempimpin dan merebut ruang-ruang yang sebelumnya hanya bisa diduduki oleh para laki-laki.

Ternyata, anggapan dan penilaian saya tidak sepenuhnya tepat dan objektif, syarat akan bias kelas sosial.

Kelangkaan minyak goreng di Indonesia menjadi bukti, praktik domestifikasi perempuan di Indonesia masih tetap langgeng.

Fenomena itu menambah beban berat perempuan pada sektor domestik, selain harus melayani suami, mereka atau bahkan keluarga, mendapatkan beban untuk mendapatkan minyak goreng.

Saat menyaksikan tayangan di media ataupun secara langsung, kita bisa mengamati bahwa sebagaian besar mereka yang mengantre adalah perempuan, bukan seorang laki-laki.

Tentu saja, sebagian besar dari mereka berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang mungkin pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak untuk memperkaya diri.

Kelas sosial ini sangat berkaitan erat dan bahkan berkontribusi besar dalam melanggengkan praktik domestifikasi.

Perempuan yang berada dalam kelas sosial menengah ke bawah hampir tidak mungkin untuk mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk melepaskan domestifikasi yang membelenggunya.

Mereka bukan tidak mau untuk keluar dari situasi tersebut, struktur ekonomi politik yang menjadikan mereka berada dalam satu posisi yang sulit.

Ditambah praktik pelanggengan domestifikasi melalui budaya dan negara.

Kapitalisme pangan dan kerentanan perempuan

Warga yang pingsan akibat kelelahan saat mengantri minyak goreng murah, Jumat (18/3/2022)KOMPAS.com/Miftahul Huda Warga yang pingsan akibat kelelahan saat mengantri minyak goreng murah, Jumat (18/3/2022)

Dalam video singkat yang beredar di media sosial, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri mempertanyakan mengapa ibu-ibu Indonesia setiap hari hanya menggoreng? Dan mengapa tidak merebus atau dengan cara lainnya yang tidak tergantung dengan minyak goreng?

Tidak ada yang salah dengan pernyataan ini, namun pertanyaan itu gagal menangkap realitas atau problem struktural di masyarakat Indonesia.

Tentu saja, jawaban tersebut disebabkan karena ekspansi kapitalisme global melalui monokulturalisasi ragam pangan.

Ekspansi minyak sawit di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rumah tangga terutama para ibu-ibu.

Hadirnya minyak sawit di Indonesia mendapatkan respons baik dari kalangan masyarakat, terutama kelas sosial menengah ke bawah.

Selain harganya yang murah, cara memasak dengan cepat dan efisien menjadi faktor yang cukup realitis.

Tidak heran muncul guyonan orang Indonesia bahwa skill dasar memasak orang Indonesia adalah ‘menggoreng’.

Mengutip gagasan dari seorang akademisi sekaligus aktivis perempuan dan lingkungan, Vandhana Shiva (2009) dalam papernya yang berjudul ‘Women and the Gendered Politics of Food’ memaparkan, kapitalisme global atas pangan memindahkan makanan dari tangan perempuan ke perusahaan.

Pemindahan tersebut tidak terjadi melalui paksaan, namun melalui pendekatan rasionalisasi.

Sebelum ledakan minyak sawit di pasaran, para perempuan dapat mengolah makanan dengan beragam cara olahan berdasarkan kultur mereka.

Selain itu, situasi ini diperburuk munculnya olahan makanan dari pabrik dengan beragam jenis yang bisa dimasak dengan menggoreng, padahal sebetulnya secara kesehatan tidak dianjurkan.

Kelangkaan minyak goreng di pasaran memiliki implikasi berlapis dalam struktur ekonomi di Indonesia, karena hampir sebagaian besar masyarakat menggantungkan proses mengolah makanan yang tidak bisa dilepaskan dari teknik penggorengan.

Selain itu, persoalan ini sekaligus menguak bahwa praktik domestifikasi perempuan tetap langgeng dan belum sepenuhnya terselesaikan.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Setelah Perindo, Puan Ungkap Ada Partai Lain yang Bakal Ikut Dukung Ganjar

Setelah Perindo, Puan Ungkap Ada Partai Lain yang Bakal Ikut Dukung Ganjar

Nasional
Kerja Sama Politik dengan Perindo, Megawati Ingatkan Pemilu itu Pileg, Pilkada dan Pilpres

Kerja Sama Politik dengan Perindo, Megawati Ingatkan Pemilu itu Pileg, Pilkada dan Pilpres

Nasional
Sandiaga Uno Tak Mau Dianggap Jadi Pihak yang Dekati PKS untuk Jegal Pencapresan Anies

Sandiaga Uno Tak Mau Dianggap Jadi Pihak yang Dekati PKS untuk Jegal Pencapresan Anies

Nasional
KY Minta Hakim Menahan Diri dari Perkataan yang Seksis dan Misoginis

KY Minta Hakim Menahan Diri dari Perkataan yang Seksis dan Misoginis

Nasional
Ade Armando Mengaku Sukarela Bela Jokowi di Media Sosial

Ade Armando Mengaku Sukarela Bela Jokowi di Media Sosial

Nasional
KY Pantau Sidang Haris Azhar-Fatia, Catat Semua Perilaku Hakim

KY Pantau Sidang Haris Azhar-Fatia, Catat Semua Perilaku Hakim

Nasional
Data KPU, PSI dan PDI-P Paling Miskin Bacaleg Perempuan, Ummat Terbanyak

Data KPU, PSI dan PDI-P Paling Miskin Bacaleg Perempuan, Ummat Terbanyak

Nasional
KPK Akan Kembangkan Dugaan Gratifikasi Andhi Pramono ke TPPU

KPK Akan Kembangkan Dugaan Gratifikasi Andhi Pramono ke TPPU

Nasional
Ketum PBNU Anggap 'Cawe-cawe' Jokowi sebagai Tanggung Jawab Jaga Stabilitas

Ketum PBNU Anggap "Cawe-cawe" Jokowi sebagai Tanggung Jawab Jaga Stabilitas

Nasional
Gibran Belum Cukup Umur Maju pada Pilpres, Apa Saja Syarat Jadi Capres-Cawapres?

Gibran Belum Cukup Umur Maju pada Pilpres, Apa Saja Syarat Jadi Capres-Cawapres?

Nasional
Demokrat Dinilai Mulai Khawatir Arah Angin Cawapres Anies Lebih Berpihak ke Khofifah

Demokrat Dinilai Mulai Khawatir Arah Angin Cawapres Anies Lebih Berpihak ke Khofifah

Nasional
Ganjar: Insya Allah Kita Menangkan Pilpres 2024 Satu Putaran

Ganjar: Insya Allah Kita Menangkan Pilpres 2024 Satu Putaran

Nasional
Gus Yahya Singgung Pilpres Bukanlah Persaingan yang Mesti Dibela Mati-matian

Gus Yahya Singgung Pilpres Bukanlah Persaingan yang Mesti Dibela Mati-matian

Nasional
Polri Bakal Siapkan Psikolog di Tingkat Polres hingga Adakan Kurikulum Terkait Psikologi

Polri Bakal Siapkan Psikolog di Tingkat Polres hingga Adakan Kurikulum Terkait Psikologi

Nasional
Jemaah Haji Dapat Asuransi Jiwa dan Kecelakaan, Ini Ketentuannya

Jemaah Haji Dapat Asuransi Jiwa dan Kecelakaan, Ini Ketentuannya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com