Namun, siapakah pihak yang paling dirugikan? Ya, tentu saja perempuan.
Masyarakat belakangan ini menghadapi satu masalah besar, yakni ketersediaan minyak goreng yang mulai menipis di pasaran.
Hal itu menjadi ironi bagi Indonesia sebagai salah satu negara dengan ladang sawit terluas, kalau kata anggota pelawak srimulat ‘Hil yang mustahal’.
Selain menunjukkan ketidakberdayaan negara atas pasar, kelangkaan minyak goreng juga membuka tabir tentang kerentanan perempuan di Indonesia, khususnya mereka yang menghabiskan waktunya pada ruang domestik.
Menghadapi fenomena ini, para perempuan tersebut rela mengantre selama berjam-jam lamanya, berdesakan, dan menghadapi sengatan matahari hanya untuk mendapatkan minyak goreng.
Apa yang mereka lakukan adalah usaha terbaik demi memastikan makanan untuk keluarganya.
Hal yang membuat kita bersedih sekaligus marah ialah munculnya korban jiwa dari para emak-emak akibat terlalu lama mengantre minyak goreng.
Peristiwa itu terjadi di daerah Berau dan Samarinda, Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu wilayah dengan luas produksi crude palm oil (CPO) terbesar di Indonesia.
Fenomena ini sangat mirip dengan sebuah pepatah, ‘Tikus mati di lumbung padi’. Meski tak pantas, tapi relevan dengan situasi yang tengah terjadi di Indonesia.
Kelas sosial dan langgengnya domestifikasi perempuan
Baru-baru ini, saya mengamati bahwa secara objektif posisi perempuan di Indonesia sangat jauh lebih baik.
Mereka tidak lagi menjadi kanca wingking (teman yang ada di belakang), yang mana bertugas melayani laki-laki atau bahkan keluarga.
Saya melihat, banyak sekali perempuan mulai muncul di ranah publik, menjadi pempimpin dan merebut ruang-ruang yang sebelumnya hanya bisa diduduki oleh para laki-laki.
Ternyata, anggapan dan penilaian saya tidak sepenuhnya tepat dan objektif, syarat akan bias kelas sosial.
Kelangkaan minyak goreng di Indonesia menjadi bukti, praktik domestifikasi perempuan di Indonesia masih tetap langgeng.
Fenomena itu menambah beban berat perempuan pada sektor domestik, selain harus melayani suami, mereka atau bahkan keluarga, mendapatkan beban untuk mendapatkan minyak goreng.
Saat menyaksikan tayangan di media ataupun secara langsung, kita bisa mengamati bahwa sebagaian besar mereka yang mengantre adalah perempuan, bukan seorang laki-laki.
Tentu saja, sebagian besar dari mereka berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang mungkin pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak untuk memperkaya diri.
Kelas sosial ini sangat berkaitan erat dan bahkan berkontribusi besar dalam melanggengkan praktik domestifikasi.
Perempuan yang berada dalam kelas sosial menengah ke bawah hampir tidak mungkin untuk mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk melepaskan domestifikasi yang membelenggunya.
Mereka bukan tidak mau untuk keluar dari situasi tersebut, struktur ekonomi politik yang menjadikan mereka berada dalam satu posisi yang sulit.
Ditambah praktik pelanggengan domestifikasi melalui budaya dan negara.
Dalam video singkat yang beredar di media sosial, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri mempertanyakan mengapa ibu-ibu Indonesia setiap hari hanya menggoreng? Dan mengapa tidak merebus atau dengan cara lainnya yang tidak tergantung dengan minyak goreng?
Tidak ada yang salah dengan pernyataan ini, namun pertanyaan itu gagal menangkap realitas atau problem struktural di masyarakat Indonesia.
Tentu saja, jawaban tersebut disebabkan karena ekspansi kapitalisme global melalui monokulturalisasi ragam pangan.
Ekspansi minyak sawit di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rumah tangga terutama para ibu-ibu.
Hadirnya minyak sawit di Indonesia mendapatkan respons baik dari kalangan masyarakat, terutama kelas sosial menengah ke bawah.
Selain harganya yang murah, cara memasak dengan cepat dan efisien menjadi faktor yang cukup realitis.
Tidak heran muncul guyonan orang Indonesia bahwa skill dasar memasak orang Indonesia adalah ‘menggoreng’.
Mengutip gagasan dari seorang akademisi sekaligus aktivis perempuan dan lingkungan, Vandhana Shiva (2009) dalam papernya yang berjudul ‘Women and the Gendered Politics of Food’ memaparkan, kapitalisme global atas pangan memindahkan makanan dari tangan perempuan ke perusahaan.
Pemindahan tersebut tidak terjadi melalui paksaan, namun melalui pendekatan rasionalisasi.
Sebelum ledakan minyak sawit di pasaran, para perempuan dapat mengolah makanan dengan beragam cara olahan berdasarkan kultur mereka.
Selain itu, situasi ini diperburuk munculnya olahan makanan dari pabrik dengan beragam jenis yang bisa dimasak dengan menggoreng, padahal sebetulnya secara kesehatan tidak dianjurkan.
Kelangkaan minyak goreng di pasaran memiliki implikasi berlapis dalam struktur ekonomi di Indonesia, karena hampir sebagaian besar masyarakat menggantungkan proses mengolah makanan yang tidak bisa dilepaskan dari teknik penggorengan.
Selain itu, persoalan ini sekaligus menguak bahwa praktik domestifikasi perempuan tetap langgeng dan belum sepenuhnya terselesaikan.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/19/06150081/perempuan-dan-kelangkaan-minyak-goreng
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan