Fenomena itu menambah beban berat perempuan pada sektor domestik, selain harus melayani suami, mereka atau bahkan keluarga, mendapatkan beban untuk mendapatkan minyak goreng.
Saat menyaksikan tayangan di media ataupun secara langsung, kita bisa mengamati bahwa sebagaian besar mereka yang mengantre adalah perempuan, bukan seorang laki-laki.
Tentu saja, sebagian besar dari mereka berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang mungkin pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak untuk memperkaya diri.
Kelas sosial ini sangat berkaitan erat dan bahkan berkontribusi besar dalam melanggengkan praktik domestifikasi.
Perempuan yang berada dalam kelas sosial menengah ke bawah hampir tidak mungkin untuk mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk melepaskan domestifikasi yang membelenggunya.
Mereka bukan tidak mau untuk keluar dari situasi tersebut, struktur ekonomi politik yang menjadikan mereka berada dalam satu posisi yang sulit.
Ditambah praktik pelanggengan domestifikasi melalui budaya dan negara.
Dalam video singkat yang beredar di media sosial, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri mempertanyakan mengapa ibu-ibu Indonesia setiap hari hanya menggoreng? Dan mengapa tidak merebus atau dengan cara lainnya yang tidak tergantung dengan minyak goreng?
Tidak ada yang salah dengan pernyataan ini, namun pertanyaan itu gagal menangkap realitas atau problem struktural di masyarakat Indonesia.
Tentu saja, jawaban tersebut disebabkan karena ekspansi kapitalisme global melalui monokulturalisasi ragam pangan.
Ekspansi minyak sawit di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan rumah tangga terutama para ibu-ibu.
Hadirnya minyak sawit di Indonesia mendapatkan respons baik dari kalangan masyarakat, terutama kelas sosial menengah ke bawah.
Selain harganya yang murah, cara memasak dengan cepat dan efisien menjadi faktor yang cukup realitis.
Tidak heran muncul guyonan orang Indonesia bahwa skill dasar memasak orang Indonesia adalah ‘menggoreng’.