JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menunjukkan sikap inkonsisten dalam pembuatan kebijakan publik.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi sikap pemerintah merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
"Hal ini menguatkan bahwa selama ini, (kebijakan) hanya testing the water. Kalau memang sudah menjadi polemik, ya sudah direvisi. Kalau memang ini enggak ada reaksi masyarakat, ya lanjut," kata Trubus saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/2/2022).
Ia kemudian membeberkan sejumlah hal pembuatan kebijakan yang menimbulkan polemik di masyarakat.
Baca juga: Jokowi Minta Permenaker JHT Direvisi, Pemerintah Diminta Pertimbangkan Aturan dengan Matang
Semisal, ketika Presiden Jokowi menyuarakan adanya pembuatan Undang-undang tentang Minuman Beralkohol hingga program vaksin booster berbayar.
Menurut Trubus, kebijakan-kebijakan itu kemudian dilakukan revisi ketika mendapatkan protes dari masyarakat.
"Ini semua menunjukkan memang perencanannya itu enggak matang," ujarnya.
Padahal, kata Trubus, seharusnya presiden sebagai kepala negara mempertimbangkan banyak hal dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Dalam hal ini, Trubus menekankan adanya partisipasi atau konsultasi terhadap publik sebelum meneken peraturan atau Undang-Undang yang ada.
Baca juga: Jokowi Minta Permenaker Direvisi, Pakar Usul JHT Bisa Diambil Pekerja yang Di-PHK
Oleh karena itu, dia menekankan agar Presiden Jokowi memperkuat kolaborasi dalam membuat kebijakan publik.
"Namanya kolaborasi partisipatif. Itu harus diperkuat. Artinya, ketika kebijakan mau dibuat, ya sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk melibatkan publiknya juga," tutur dia.
Ia juga menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena salah satunya kurangnya partisipasi publik.
Seharusnya, pemerintah tidak mengulangi hal tersebut di pembuatan peraturan perundang-undangan lainnya.
"Jadi, di situ pemerintah seharusnya sadar bahwa kebijakan itu harus melalui proses-proses yang disebut musyawarah mufakat," imbuh dia.
Baca juga: Pemerintah Terbitkan Aturan soal JHT, Diprotes Massa, Jokowi Mendadak Muncul Minta Revisi
Lebih lanjut, Trubus juga menyinggung keberadaan staf khusus presiden dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP).