Bagaimana tidak, Friedrich merupakan seorang Kristen Protestan, berdarah Batak. Ayahnya pendeta.
Sebelum mengikuti sayembara, Friedrich bahkan sempat berkonsultasi dengan Uskup Bogor, Monsieur Geise, perihal konflik batin ini.
Dia juga berdoa, memohon persetujuan dan bimbingan Tuhan soal niatnya mengikuti sayembara merancang sebuah masjid, rumah ibadah yang "tidak akrab" dengannya.
"Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya," ujar Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich, menirukan doa ayahnya, melansir Historia.id.
Baca juga: Friedrich Silaban, Seorang Nasrani yang Pelajari Wudu dan Shalat demi Rancang Masjid Istiqlal
Namun yang terjadi, Friedrich memenangi sayembara.
Di tengah proses menyelesaikan gambar-gambar rancangannya, Friedrich sempat sakit. Dia harus menggunakan papan gambar yang diposisikan sedemikian rupa agar tetap bisa menggambar tanpa beranjak dari tempat tidur.
Gairah dan semangat nasionalisme Friedrich yang tinggi membuatnya mampu menjawab tantangan Soekarno.
Status keagamaan rupanya tidak menjadi ganjalan Friedrich untuk terlibat dalam perancangan salah satu proyek besar bangsa.
Ketika era Orde Baru dimulai, Soeharto mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno, termasuk Friedrich, seseorang yang diasosiasikan dengan Soekarno.
Kedekatan Friedrich dengan Soekarno menyebabkan kariernya jatuh pada rezim Soeharto.
"Dalam fase hidup terakhirnya, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya," tulis buku Rumah Silaban.
Baca juga: Perjalanan Rahasia Soeharto: Menginap di Rumah Warga hingga Bekal Beras dan Tempe
Upah pensiunan yang diterima Friedrich tidak cukup untuk menghidupi dirinya serta kesepuluh anaknya. Tawaran proyek pembangunan yang biasanya Friedrich terima pun tak kunjung berdatangan.
Alhasil, pada tahun 1967, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam surat lamaran yang Friedrich kirim, dia menceritakan kesulitannya menghadapi krisis ekonomi.
Gayung tak bersambut, lamaran Friedrich tak mengantarkannya pada pekerjaan apa pun.
Dalam sebuah surat balasan, Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perancanaan PBB menyatakan, belum ada lowongan yang sesuai bagi Friedrich.
P Simamora dan kawan-kawan, dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal menuturkan bahwa Friedrich baru mendapat tawaran proyek mulai pertengahan tahun 1977. Kala itu, Gubernur Sulawesi Tengah memintanya merancang Masjid Agung Kota Palu.
Baca juga: Saat Presiden Soekarno Menutup Kuping Dengar Musik Ngak Ngik Ngok...
Meski tak sebesar proyek yang ia garap di sekitar tahun 1960-an, beberapa proyek mulai dikerjakan Friedrich pada tahun 1978. Sejumlah rumah tinggal pribadi di Bogor dan Jakarta sempat menjadi garapannya.
Namun, memasuki pertengahan 1983, Friedrich mengalami kemunduran kondisi kesehatan.
Ia pun tutup usia pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada usia 72 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.