Salin Artikel

Kisah Friedrich Silaban: Pergolakan Batin Arsitek Masjid Istiqlal dan Kedekatannya dengan Soekarno

JAKARTA, KOMPAS.com - Masjid Istiqlal genap berusia berusia 44 tahun pada Selasa (22/2/2022) hari ini.

Diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978, hingga kini tempat ibadah yang berlokasi di Jakarta Pusat ini masih berdiri megah sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara.

Membahas Masjid Istiqlal tak bisa lepas dari arsiteknya. Dialah Friedrich Silaban, seorang Kristen Protestan yang dipercaya Presiden Soekarno sebagai perancang Masjid Istiqlal.

Friedrich lahir di Bonan Dolok, Sumatera Utara, pada 16 Desember 1912 dari keluarga petani sederhana.

Dia merupakan lulusan Koningin Wilhermina School, Jakarta, tahun 1931, sekolah setingkat Sekolah Teknik Menengah (STM). Friedrich lantas melanjutkan studinya ke Belanda selama 1949-1950.

Namanya hingga kini masih dikenang. Friedrich besar di era Soekarno, meski sempat dipinggirkan di rezim Soeharto.

Dekat dengan Soekarno

Rupanya, Friedrich merupakan sosok yang dekat dengan Presiden Soekarno. Saking dekatnya, Soekarno bahkan pernah bertamu ke rumah Friedrich di Bogor, Jawa Barat.

Namun demikian, kedekatan itu tak lantas memuluskan jalan Friedrich sebagai perancang desain Masjid Istiqlal. Ia ditunjuk sebagai arsitek masjid tersebut setelah memenangkan sayembara.

Karya Friedrich berjudul "Ketuhanan" berhasil memenangi hati para dewan juri, termasuk Soekarno.

Pakai nama samaran

Dikisahkan putra Friedrich, Panogu Silaban, sebelum mengikuti sayembara, ayahnya meminta izin ke Soekarno. Dari situlah Soekarno mengusulkan agar Freidrich memakai nama samaran.

"Dia (Friedrich) pernah bertanya kepada Soekarno langsung, 'Ini mau ngadain sayembara Istiqlal loh, saya ikut enggak ya?' Mereka memang dekat ya," kata Panogu dalam wawancara yang ditayangkan Singkap Kompas TV, akhir Februari 2018.

"Lalu (Soekarno menjawab), 'tapi kalau ikut harus pakai nama samaran. Kalau enggak, enggak ada yang mau milih'," tuturnya.

Menurut Panogu, ayahnya memang kerap mengikuti sayembara dengan nama samaran berupa moto.

"Setiap kali sayembara itu pakai nama-nama samaran, moto istilahnya. Pernah ada satu sayembara, (Friedrich) pakai (nama) 'Bhinneka Tunggal Ika', motonya. Juga pernah pakai 'Kemakmuran'. Lalu, untuk Istiqlal ini motonya 'Ketuhanan'," kata dia.

Pergulatan batin

Sebagai seorang Kristiani, Friedrich mengalami pergulatan batin ketika hendak mengikuti sayembara arsitek Masjid Istiqlal.

Bagaimana tidak, Friedrich merupakan seorang Kristen Protestan, berdarah Batak. Ayahnya pendeta.

Sebelum mengikuti sayembara, Friedrich bahkan sempat berkonsultasi dengan Uskup Bogor, Monsieur Geise, perihal konflik batin ini.

Dia juga berdoa, memohon persetujuan dan bimbingan Tuhan soal niatnya mengikuti sayembara merancang sebuah masjid, rumah ibadah yang "tidak akrab" dengannya.

"Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya," ujar Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich, menirukan doa ayahnya, melansir Historia.id.

Namun yang terjadi, Friedrich memenangi sayembara.

Di tengah proses menyelesaikan gambar-gambar rancangannya, Friedrich sempat sakit. Dia harus menggunakan papan gambar yang diposisikan sedemikian rupa agar tetap bisa menggambar tanpa beranjak dari tempat tidur.

Gairah dan semangat nasionalisme Friedrich yang tinggi membuatnya mampu menjawab tantangan Soekarno.

Status keagamaan rupanya tidak menjadi ganjalan Friedrich untuk terlibat dalam perancangan salah satu proyek besar bangsa.

Terpinggirkan rezim Soeharto

Ketika era Orde Baru dimulai, Soeharto mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno, termasuk Friedrich, seseorang yang diasosiasikan dengan Soekarno.

Kedekatan Friedrich dengan Soekarno menyebabkan kariernya jatuh pada rezim Soeharto.

"Dalam fase hidup terakhirnya, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya," tulis buku Rumah Silaban.

Upah pensiunan yang diterima Friedrich tidak cukup untuk menghidupi dirinya serta kesepuluh anaknya. Tawaran proyek pembangunan yang biasanya Friedrich terima pun tak kunjung berdatangan.

Alhasil, pada tahun 1967, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam surat lamaran yang Friedrich kirim, dia menceritakan kesulitannya menghadapi krisis ekonomi.

Gayung tak bersambut, lamaran Friedrich tak mengantarkannya pada pekerjaan apa pun.

Dalam sebuah surat balasan, Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perancanaan PBB menyatakan, belum ada lowongan yang sesuai bagi Friedrich.

P Simamora dan kawan-kawan, dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal menuturkan bahwa Friedrich baru mendapat tawaran proyek mulai pertengahan tahun 1977. Kala itu, Gubernur Sulawesi Tengah memintanya merancang Masjid Agung Kota Palu.

Meski tak sebesar proyek yang ia garap di sekitar tahun 1960-an, beberapa proyek mulai dikerjakan Friedrich pada tahun 1978. Sejumlah rumah tinggal pribadi di Bogor dan Jakarta sempat menjadi garapannya.

Namun, memasuki pertengahan 1983, Friedrich mengalami kemunduran kondisi kesehatan.

Ia pun tutup usia pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada usia 72 tahun.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/22/09173111/kisah-friedrich-silaban-pergolakan-batin-arsitek-masjid-istiqlal-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke