Pada 2019, tahun ketika Pilpres diselenggarakan, kepuasan terhadap kinerja Jokowi sempat mencapai titik nadir, yaitu 36,2 persen (Maret) dan 39,4 persen (Oktober).
Kepuasan itu sempat meningkat ke kisaran 50 persen lebih pada kurun Agustus 2020 hingga April 2021, sebelum turun ke 47,9 persen pada Oktober 2021.
Namun, per Januari 2022, angka itu telah melonjak lagi ke 54,3 persen.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 2022 Dinilai Jadi Babak Awal Tahun Politik
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani beranggapan bahwa kepuasan yang meningkat masih sebatas prosedural, belum menyentuh substansi yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Yang menjadi persepsi publik tentu harus dihargai, tetapi realitanya harus benar-benar disadari pemerintah apakah kebijakannya sudah sesuai harapan publik atau belum,” ujar dia dikutip harian Kompas, Senin (21/2/2022).
Menurut Kamhar, hal itu tecermin dari beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai kemunduran, seperti Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Ibu Kota Negara.
Senada, Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Fathul Bari secara khusus mengingatkan pekerjaan rumah terkait demokratisasi dan penegakan hukum.
Dua aspek ini sudah disorot publik sejak beberapa waktu terakhir dan harus jadi perhatian pemerintah
Jangan kemudian tingginya tingkat kepuasan publik justru disalahgunakan dengan membuat peraturan tanpa melibatkan publik, sebagaimana Undang-undang Cipta Kerja yang disusun secara kilat tanpa partisipasi publik dan berujung vonis inkonstitusional bersyarat oleh MK.
”Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang UU Cipta Kerja sebaiknya menjadi cerminan,” kata Bari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.