Jika dibuat tanpa tendensi sebagai “pembenar”, maka tidak tertutup kemungkinan kesimpulan naskah akademik justru bertentangan dengan kemauan pemerintah.
Bisa saja naskah akademik justru menyimpulkan rancangan undang-undang yang diinginkan pemerintah sebenarnya tidak diperlukan.
Mungkin saja jawabannya bukan pada ada tidaknya undang-undang. Mungkin soal prosedur operasional di tataran teknis.
Bisa juga masalahnya pada minimnya pengawasan, evaluasi, dan penegakan aturan di level bawah.
Untuk sampai pada konklusi tersebut, naskah akademik harus mengacu pada keseimbangan bukti ilmiah dan memperhatikan pendapat ahli.
Pendapat yang sama dari 2, 3, atau bahkan 10 ahli tidak semata-mata dapat menjadi modal untuk membuat kesimpulan bagi naskah akademik.
Sayangnya ini tidak terjadi di Indonesia. Naskah akademik menjadi dokumen yang dibuat dengan asumsi kita membutuhkan rancangan undang-undang tersebut.
Ketika menyusun naskah akademik untuk UU Cipta Kerja, sudah ada asumsi bahwa undang-undang tersebut memang diperlukan untuk meningkatkan investasi dan solusinya menggunakan metode omnibus.
Ketika sudah berasumsi sejak awal bahwa mengatasi problem adalah dengan membuat rancangan undang-undang, maka naskah akademik disederhanakan sebagai dokumen untuk “membenarkan” keberadaan rancangan undang-undang.
Undang-undang kemudian kehilangan legitimasi substantifnya dan rawan dicurigai sebagai bagian dari agenda elite.
Ketika putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyusun kembali UU Cipta Kerja dalam dua tahun, maka persoalan kritis di dalamnya adalah legitimasi komunikatif.
Legitimasi komunikatif berkaitan dengan kemauan dan kesabaran untuk mendengarkan pro kontra lalu mengartikulasikannya dalam kesepakatan-kesepakatan.
Legitimasi komunikatif dicapai bukan dengan sekadar mengunggah naskah akademik dan rancangan undang-undang ke dalam laman pemerintah.
Namun yang paling penting adalah bagaimana menjelaskan rasionalitas ekonomi, hukum, politik, dan sains ke mereka yang ingin mengetahui isu tersebut dan memperoleh umpan baliknya melalui deliberasi.
Konteks Indonesia secara normatif menunjukkan adanya akses untuk deliberasi. Akses masyarakat diberikan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang formal seperti: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar.