Selain itu, revisi ini juga ingin menguatkan partisipasi masyarakat dan mekanisme perbaikan atas kesalahan penulisan setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah.
Jika metode omnibus masuk dalam revisi tersebut, maka UU Cipta Kerja – yang akan dibentuk ulang dan berproses dari awal – seakan-akan memiliki legitimasi formal yang kuat dari aspek metodologi.
Tidak ada lagi pertanyaan tentang landasan penggunaan metode omnibus.
Sekadar menempelkan metode omnibus adalah memberikan legitimasi formal atas persoalan metodologi dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Padahal persoalan metodologi legislasi juga terkait dengan legitimasi substantif dan legitimasi komunikatif.
Metodologi legislasi yang memberi ruang bagi pencapaian legitimasi substansial dan komunikatif mampu menunjukkan dua poin penting.
Pertama, bagaimana rasionalitas hukum, ekonomi, politik, dan sains menjelaskan urgensi sebuah undang-undang?
Kedua, bagaimana rasionalitas tersebut dibawa ke ruang publik dalam merumuskan argumentasi yang terbaik?
Artikulasi berbagai Rasionalitas
Legitimasi substantif berkaitan bagaimana kita dapat menerima undang-undang secara rasional.
Undang-undang rawan dikritik ketika dianggap semata-mata membawa kepentingan ekonomi dan politik.
Di sisi lain, ada rasionalitas hukum dan sains yang bisa jadi menawarkan argumentasi berbeda.
Di sinilah kemudian dapat muncul tarik menarik kepentingan yang perlu diteliti sebelum memutuskan untuk membuat undang-undang sebagai jawaban atas persoalan.
Naskah akademik pada hakikatnya berperan penting dalam merealisasikan legitimasi substantif dengan mengartikulasikan berbagai rasionalitas dan perspektif yang muncul.
Sebagai hasil penelitian, naskah akademik seharusnya tidak menjadi “pembenar” atas kemauan politik atau ekonomi yang muncul dari pemerintah.
Jika dibuat tanpa tendensi sebagai “pembenar”, maka tidak tertutup kemungkinan kesimpulan naskah akademik justru bertentangan dengan kemauan pemerintah.
Bisa saja naskah akademik justru menyimpulkan rancangan undang-undang yang diinginkan pemerintah sebenarnya tidak diperlukan.
Mungkin saja jawabannya bukan pada ada tidaknya undang-undang. Mungkin soal prosedur operasional di tataran teknis.
Bisa juga masalahnya pada minimnya pengawasan, evaluasi, dan penegakan aturan di level bawah.
Untuk sampai pada konklusi tersebut, naskah akademik harus mengacu pada keseimbangan bukti ilmiah dan memperhatikan pendapat ahli.
Pendapat yang sama dari 2, 3, atau bahkan 10 ahli tidak semata-mata dapat menjadi modal untuk membuat kesimpulan bagi naskah akademik.
Sayangnya ini tidak terjadi di Indonesia. Naskah akademik menjadi dokumen yang dibuat dengan asumsi kita membutuhkan rancangan undang-undang tersebut.
Ketika menyusun naskah akademik untuk UU Cipta Kerja, sudah ada asumsi bahwa undang-undang tersebut memang diperlukan untuk meningkatkan investasi dan solusinya menggunakan metode omnibus.
Ketika sudah berasumsi sejak awal bahwa mengatasi problem adalah dengan membuat rancangan undang-undang, maka naskah akademik disederhanakan sebagai dokumen untuk “membenarkan” keberadaan rancangan undang-undang.
Undang-undang kemudian kehilangan legitimasi substantifnya dan rawan dicurigai sebagai bagian dari agenda elite.
Legitimasi Komunikatif dan Deliberasi
Ketika putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyusun kembali UU Cipta Kerja dalam dua tahun, maka persoalan kritis di dalamnya adalah legitimasi komunikatif.
Legitimasi komunikatif berkaitan dengan kemauan dan kesabaran untuk mendengarkan pro kontra lalu mengartikulasikannya dalam kesepakatan-kesepakatan.
Legitimasi komunikatif dicapai bukan dengan sekadar mengunggah naskah akademik dan rancangan undang-undang ke dalam laman pemerintah.
Namun yang paling penting adalah bagaimana menjelaskan rasionalitas ekonomi, hukum, politik, dan sains ke mereka yang ingin mengetahui isu tersebut dan memperoleh umpan baliknya melalui deliberasi.
Konteks Indonesia secara normatif menunjukkan adanya akses untuk deliberasi. Akses masyarakat diberikan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang formal seperti: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, atau seminar.
Pandemi seharusnya mengubah cara pandang kita dalam melihat deliberasi dan mengaturnya dalam sebuah metodologi legislasi.
Pandemi membuat konsep legitimasi komunikatif turut terdisrupsi. Parlemen dan pemerintah kemudian perlu membuka peluang lebih luas bagi deliberasi.
Pengalaman selama pandemi menunjukkan masyarakat sipil justru kreatif merespons isu-isu legislasi.
Respons mereka terhadap isu tidak harus menunggu undangan rapat dengar pendapat dari DPR.
Mereka menyelenggarakan berbagai seminar daring tentang RUU Cipta Kerja atau RUU PKS.
Pro kontra perdebatan dalam forum-forum ini perlu “dipotret” dan diartikulasikan oleh wakil-wakil mereka di parlemen.
Zaman terus bergerak sehingga deliberasi dalam legislasi tidak bisa kita sempitkan pada diskusi para pihak yang hadir secara formal di parlemen. Argumentasi berkualitas bisa lahir kapan saja dan di mana saja.
Namun deliberasi yang berkualitas dan luas tidak dapat dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, kecuali negara dalam keadaan darurat.
Metodologi legislasi perlu memberi kesempatan bagi seluruh warga negara untuk turut serta menimbang-nimbang gagasan yang akan dimasukkan dalam rancangan undang-undang.
Pembelajaran dari UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa akselerasi pembahasan rancangan undang-undang dengan mengorbankan deliberasi tidak dapat dibenarkan.
Metodologi legislasi dalam revisi UU No. 12 Tahun 2011 perlu menjamin deliberasi tidak dikorbankan, dengan membuka pengecualian bagi legislasi jalur cepat (fast-track legislation) sepanjang terdapat alasan yang dapat diuji.
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/14/14385871/legislasi-dan-persoalan-legitimasi