JAKARTA, KOMPAS.com – Dosen Universitas Indonesia (UI) Sri Mardiyati mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menolaknya memperoleh gelar guru besar.
Dosen senior di Departemen Matematika Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) itu mengajukan gugatan terhadap Pasal 50 Ayat (4) UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 ke MK.
Gugatan itu tercatat dengan perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021.
Menurutnya, pasal tersebut membuat haknya untuk mendapatkan gelar sebagai guru besar kandas di tangan pemerintah.
Saat dihubungi, Sri menegaskan, gugatan yang diajukannya itu merupakan persoalan hak dan kebenaran serta keadilan.
"Saya tegaskan, urusan kenaikan pangkat saya ini adalah urusan hak dan kebenaran serta keadilan, bukan hanya sekadar urusan gelar," kata Sri dalam surat yang diajukan ke MK, dikutip Kompas.com, Kamis (3/2/2022).
Adapun isi Pasal 50 Ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan pengangkatan serta penetapan jabatan akademik tertentu ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Ajukan Gugatan ke MK, Dosen UI: Bukan Urusan Gelar Guru Besar, tapi Bicara Kebenaran dan Keadilan
Sri juga menilai frasa "sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku" dalam pasal tersebut menjadi dasar pemerintah membuat aturan turunan berupa Permendikbud Nomor 92 Tahun 2014 dan PO-PAK 2014 dan/atau PO-PAK 2019 yang mengambil alih kewenangan satuan pendidikan tinggi dalam penyeleksian, pengangkatan, dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar.
Dengan adanya aturan itu, yang berwenang untuk menyeleksi, mengangkatan, dan menetapkan jabatan akademik adalah pemerintah atau dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi).
"Sesungguhnya materi isi Pasal 50 Ayat (4) UU Guru dan Dosen telah menimbulkan multitafsir. Salah satu bentuk dari multitafsir ini adalah dengan diterbitkannya Permendikbud Nomor 92 Tahun 2014, PO-PAK 2014, dan PO-PAK 2019 oleh Kemendikbud yang menafsirkan bahwa putusan akhir pengangkatan jabatan akademik dari perguruan tinggi ada pada Kemendikbud," ujar Sri dalam gugatan yang diajukan ke MK, dikutip Kompas.com.
Sri mengatakan, perjalanan untuk menjadi guru besar tidak mudah. Selama ini, ia sudah berjuang keras sembari tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ibu.
Ia kemudian menceritakan, awal mulanya termotivasi menjadi guru besar karena Dekan FMIPA UI yang saat itu menjabat mendorongnya untuk menjadi guru besar. Proses ini dimulai sejak 2016.
Sebab, saat itu Dekan FMIPA UI mengatakan Departemen Matematika FMIPA UI kekurangan guru besar. Sejak didirikan tahun 1961, Jurusan Matematika UI hanya memiliki dua orang guru besar.
Kedua guru besar itu pun kini telah wafat, sehingga sejak tahun 2018, departemen itu tidak lagi mempunyai guru besar.
Sayangnya menurut Sri, peraturan terkait pengangkatan jabatan guru besar kerap berubah-ubah. Ia mengatakan, sebelum 2016 tesis dihitung sebagai angka kredit jika diterbitkan.
Namun saat tesis Sri terbit, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan edaran baru bahwa buku berdasarkan tesis tidak bisa dihitung angka kreditnya untuk jabatan guru besar. Kemudian, paper yang dipresentasikan dalam seminar dan dipublikasikan dalam proceeding hanya dinilai 20 persen.
Baca juga: Ajukan Gugatan ke MK, Dosen UI: Bukan Urusan Gelar Guru Besar, tapi Bicara Kebenaran dan Keadilan
Lalu, ada pula edaran baru yang menyatakan harus ada artikel yang diterbitkan pada jurnal ilmiah terindeks Scopus.
"Akibat dari perubahan peraturan penilaian angka kredit ini, maka angka kredit yang telah saya peroleh dianggap tidak cukup dan baru dianggap mencukupi oleh Rektor UI pada 2019. Setelah mengalami seleksi yang panjang di lingkungan UI, kenaikan pangkat saya baru diproses oleh rektor," kata dia.
Selain itu Sri juga keberatan karena Kemendikbud menunjuk orang yang tidak satu rumpun ilmu untuk melalukan penilaian terhadap karya ilmiahnya.
Ia mengatakan, Kemendikbud menunjuk guru besar di bidang elektro ITB, Yanuarsyah Haroen; guru besar di bidang fisiologi/genetika molekuler tanaman Universitas Diponegoro, Syaiful Anwar; dan guru besar di bidang fisika Universitas Negeri Semarang, Sutikno untuk menilai dokumen kenaikan pangkatnya.
Karya ilmiah Sri ditolak karena dianggap tidak layak untuk kenaikan pangkat. Padahal, karya ilmiah yang diajukan Sri sebagai bahan penilaian angka kredit dalam jabatan guru besar sudah diperiksa dan divalidasi dengan baik oleh Rektor UI.
Bahkan, ia menyatakan karya ilmiah tersebut juga telah diperiksa tim penilai independen dari Guru Besar FMIPA ITB Edy Tri Baskoro dari kelompok keilmuan matematika kombinatorika dan Irawati dari kelompok keilmuan aljabar.
"Penunjukkan tim penilai baru ini, bagi saya adalah bukti bahwa Kementerian Pendidikan menunjukkan hegemoni mereka atas dunia pendidikan, khususnya dalam hal kenaikan pangkat menjadi guru besar," ucap Sri.
Baca juga: Ditolak Kemendikbud Jadi Guru Besar, Dosen Matematika UI Gugat UU Guru dan Dosen
Sri berpandangan, tafsir terhadap Pasal 50 Ayat (4) UU 14/2005, pemerintah telah mengambil alih kewenangan satuan pendidikan tinggi dalam penyeleksian, pengangkatan, dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar.
Melalui gugatan yang diajukannya ini, Sri berharap majelis hakim MK berpihak pada kebenaran dan keadilan serta memberikan putusan terbaik bagi kepentingan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
"Apapun yang majelis hakim putuskan, akan saya terima dengan lapang dada. Karena saya percaya, 'Mahkamah Sejarah' akan mencatat permohonan saya ini dan putusan majelis yang mulia, apapun putusannya," kata dia.
Sebagai informasi, sidang perkara ini telah berlangsung di MK. Berdasarkan risalah persidangan MK, terakhir kali, sidang digelar pada 24 Januari 2022.
Saat itu, semua pihak juga hadir di persidangan. Kemudian majelis hakim meminta para pihak mengajukan kesimpulan yang paling lambat dikumpulkan pada 2 Februari 2022.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.