“Dalam surat-suratnya, mulai dari SP 1, SP 2, SP 3, bupati mem-framing Masjid Mifathul Huda sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Itu framing bupati. Padahal jelas itu masjid dan sudah ada sejak tahun 2007,” kata Ketua Komite Hukum Jemaah Ahmadiyah Indonesia Fitria Sumarni dalam jumpa pers, Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Sejarah Ahmadiyah di Indonesia
“Selama 13 tahun Masjid Miftahul Huda digunakan, komunitas di sana bisa menggunakannya dengan aman, nyaman, dan hidup harmonis berdampingan dengan warga sekitar, tidak ada penolakan,” lanjutnya.
Fitria menduga, Bupati Sintang Jarot Winarno sengaja membuat framing bahwa Masjid Miftahul Huda bukan merupakan rumah ibadah agar bisa menghindar dari pedoman mengatasi perselisihan rumah ibadah, yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Tahun 2006.
Dalam beleid tersebut, perselisihan rumah ibadah harus diselesaikan secara musyawarah alih-alih pembongkaran.
Di samping itu, pemerintah daerah justru wajib memfasilitasi penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi rumah-rumah ibadah yang belum mendapatkannya, seperti Masjid Miftahul Huda dan seluruh rumah ibadah di wilayah tersebut.
Baca juga: Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah
“Mengapa kemudian Bupati kekeh ingin membongkar, kita ingat bahwa aliansi yang merusak Masjid Miftahul Huda memberi ultimatum kepada aparat untuk merobohkan Masjid Miftahul Huda. Ini bukti ketundukan Bupati pada kelompok intoleran,” ujar Fitria.
“Perlu juga kiranya diketahui oleh rekan-rekan sekalian bahwa di Desa Balai Harapan, tidak ada satu pun rumah ibadah yang mempunyai IMB. Ini (SP 3 kepada komunitas Ahmadiyah) merupakan sikap diskriminatif dari Bupati,” imbuhnya.
Negara harus hadir
Perlindungan bagi komunitas Muslim Ahmadiyah di Sintang mutlak diperlukan agar peristiwa kekerasan pada September 2021 tak terulang lagi.
Saat ini, situasi disebut mencekam. Fitria mengungkapkan, berdasarkan laporan dari tokoh Muslim Ahmadiyah Sintang, ancaman datang silih-berganti.
“Sebelumnya beliau menerima ancaman lewat WhatsApp, ancamannya pun bahkan sampai pada tahap pembunuhan. Bahkan kami mendapatkan laporan, malam hari ada upaya orang masuk,” kata Fitria.
Baca juga: Ridwan Kamil dan M Idris Didesak Cabut Peraturan yang Diskriminasi Jemaah Ahmadiyah
Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat mengaku khawatir, konflik akan terjadi lagi karena pembongkaran kemungkinan besar terjadi bersamaan dengan bebasnya para pelaku perusakan masjid.
“Saya kira ini perlu betul-betul ketegasan dari Polri sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap komunitas Muslim Ahmadiyah di sana,” lanjut Fitria.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit diminta menindak tegas aparat yang tidak mencegah atau bahkan turut serta dalam tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim Ahmadiyah.
Polisi sebagai representasi negara tidak bisa mengorbankan hak dan keselamatan Muslim Ahmadiyah Sintang demi memuaskan kelompok intoleran dengan alasan stabilitas.
Baca juga: Imparsial Kritik Surat Peringatan Plt Bupati Sintang soal Pembongkaran Masjid Ahmadiyah