“(Migrant Care) sama sekali tidak dilibatkan (dalam pembahasan). Putusan MK menunjukkan bahwa proses pembuatan (UU Cipta Kerja) tidak demokratis,” ucap Wahyu, saat dihubungi, Kamis.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan, berbagai organisasi masyarakat sipil lintas-sektoral melakukan konsolidasi. Tidak hanya terkait isu ketenagakerjaan, tetapi juga ekologi, pertanian, hingga lingkungan.
Mereka sampai pada kesimpulan bahwa UU tersebut memiliki daya rusak yang sistematik. Migrant Care sendiri berpandangan, sejumlah pasal UU Cipta Kerja justru sangat kontraproduktif dengan upaya pelindungan pekerja migran.
“Kita konsolidasi juga dengan teman-teman yang lain, kok sama, UU ini punya daya rusak yang sistematik,” tutur Wahyu.
Baca juga: MK Nyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Pakar: Kenapa Tidak Dibatalkan?
Dalam UU Cipta Kerja, Migrant Care mempersoalkan Pasal 89A UU Cipta Kerja yang mengubah UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
Pasal tersebut menyatakan, Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.
Artinya, Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau SIP3MI menyesuaikan dengan perizinan berusaha di UU Cipta Kerja.
Padahal secara filosofi, pengaturan perizinan berusaha bagi perusahaan yang menempatkan manusia berbeda dengan perizinan berusaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang lain.
Selanjutnya, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 57 Ayat (1) dan Ayat (2) UU PPMI yang mengatur tentang syarat perpanjangan SIP3MI yang harus dipenuhi.
Adapun pasal tersebut merupakan bentuk pengawasan dan evaluasi bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), sebagai upaya pelindungan pekerja migran dari perusahaan yang tidak professional, tidak berkompeten, dan tidak bertanggung jawab.
Setelah permohonan uji formil diajukan, proses pengumpulan bukti pun tidak mudah. Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menuturkan sulitnya mendapatkan naskah resmi RUU Cipta Kerja.
Baca juga: MK: UU Cipta Kerja Batal Sepenuhnya Bila Tak Selesai Diperbaiki dalam 2 Tahun
Upaya mendapatkan draf resmi UU Cipta Kerja melalui Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR hingga Badan Legislatif (Baleg) tidak membuahkan hasil.
Sementara itu, berbagai versi draf RUU Cipta Kerja telah beredar.
Naskah UU Cipta Kerja yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 terus mengalami perubahan.
Perubahan itu tak hanya terjadi saat naskah itu masih berada di DPR. Setelah diserahkan ke Presiden Joko Widodo melalui Sekretariat Negara, naskah UU yang dikerjakan dengan metode omnibus law itu masih mengalami perubahan.