JAKARTA, KOMPAS.com - Pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat yang berlangsung pada 30 September 1965, atau biasa disebut peristiwa G30S/PKI, bisa dikatakan sebagai awal mula meredupnya wibawa dan kekuasaan Presiden Soekarno di jagat politik nasional.
Soekarno dengan segera harus mengakhiri bulan madunya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan negara-negara Blok Timur yang juga berpaham komunis.
Soekarno yang saat itu dekat dengan PKI berhadap-hadapan langsung dengan Angkatan Darat yang jenderal-jenderalnya menjadi korban pembunuhan di malam 30 September.
Baca juga: Kisah Dewi Soekarno dan Tiga Opsi yang Ditawarkan Soeharto
Usai terjadinya peristiwa G30S/PKI, kekuasaan Bung Karno pun terus mendapat rongrongan, terutama dari mahasiswa dan tentara.
Dikutip dari buku Sejarah Perjuangan TNI Angkatan Darat yang disusun oleh Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, kesatuan aksi pemuda dan mahasiswa saat itu menilai Soekarno sebagai pemerintahan Orde Lama yang harus ditumbangkan.
Gerakan menentang Orde lama mencapai puncaknya saat pelantikan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966.
Mahasiswa melakukan boikot dengan melakukan aksi kempes ban di jalan menuju Istana Negara. Mereka memprotes dan menentang pelantikan kabinet.
Demonstrasi secara besar-besaran pun terjadi kembali pada 11 Maret 1966 di depan Istana Negara.
Demonstrasi tersebut mendapat dukungan dari tentara. Mahasiswa mengepung Istana Kepresidenan dan menyuarakan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang salah satunya menuntut pembubaran PKI. Sejumlah tentara tak dikenal juga disebut-sebut mengelilingi Istana Kepresidenan.
Baca juga: G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok, Apa Bedanya?
"Diakui oleh Kemal Idris bahwa itu pasukan Kostrad yang dia pimpin, bergabung dengan mahasiswa. Jadi demonya bukan demo yang murni lagi," kata sejarawan Asvi Warman Adam saat diwawancarai Kompas.com.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.