Kedua, Erasmus menyoroti Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Menurutnya, dalam pedoman yang ada sudah berusaha untuk memberikan batasan terkait ujaran kebencian.
Namun, Erasmus berpandangan, permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian ‘antargolongan’ dalam pasal tersebut.
“Unsur ‘antargolongan’ masih menjadi masalah serius pasca-putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya,” tegasnya.
Baca juga: Pedoman UU ITE Berpeluang Bantu Masalah Implementasi, tapi Revisi UU ITE Harus Disegerakan
Ketiga, Erasmus juga menyoroti Pasal 29 UU ITE tentang pengancaman di ruang siber atau cyberbullying.
Menurut dia, pedoman yang ada mengenai pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat terkait pasal tersebut sebagai delik aduan.
“Pasal ini harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi. Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya,” ucap dia.
Selanjutnya, Erasmus mencatat potensi masalah pada Pasal 36 tentang perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Erasmus menjelaskan, pedoman yang ada masih belum mempertegas peran dari polisi dan kaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27 sampai 34 UU ITE.
Kendati demikian, Erasmus juga memberikan apresiasi terhadap pedoman di Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 27 Ayat (4) tentang pemerasan/pengancaman.
Ia mengatakan, pedoman mengatur agar Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga laporan hanya bisa dibuat melalui delik aduan langsung.
Isi dari pedoman tersebut setidaknya berpeluang memperbaiki implementasi UU ITE.
Namun, Erasmus menekankan, pedoman ini harus menjadi isyarat pentingnya melakukan revisi kedua UU ITE.
“Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh oleh Pedoman UU ITE,” ucap dia.
Secara terpisah, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur tetap memprioritaskan dan menjaga komitmen revisi UU ITE.
Baca juga: Pemerintah Terbitkan Pedoman UU ITE, ICJR Nilai Masih Ada Celah Ruang Kriminalisasi
Isnur menegaskan, salah satu langkah yang harus ditempuh pemerintah yakni segera mengajukan revisi dan pembahasan dengan DPR.
Di samping itu, pihaknya mendorong pemerintah lebih terbuka agar proses penyusunan revisi UU ITE lebih partisipatif. Masyarakat yang terdampak regulasi harus dilibatkan.
Ia tak ingin pembahasan revisi UU ITE berjalan seperti ketika pemerintah mengeluarkan draf SKB. Sebab, pemerintah sebelumnya tak pernah membuka diri ke publik mengenai draf pedoman tersebut.
"Padahal, partisipasi publik yang bermakna, efektif dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Tidak bisa hanya bersifat formal, akan tetapi harus berkelanjutan dan memasukan opini dan kekhawatiran masyarakat dalam setiap keputusan," tegas dia.
Isnur menambahkan, penerbitan pedoman ini harus dianggap sebagai aturan transisi sebelum adanya revisi UU ITE.
Karena itu, pihaknya menekankan agar praktik pembuatan pedoman tidak menjadi kebiasaan dalam menjawab revisi UU yang bermasalah.
"Dalam hal ini, pemerintah harus tetap berkomitmen untuk merevisi UU ITE," tegas dia.
Baca juga: Kominfo Terbitkan Pedoman Implementasi Pasal Karet UU ITE, Ini Isinya
Adapun delapan poin dalam pedoman kriteria implementasi sebagai berikut:
a. Pasal 27 ayat (1)