KOMPAS.com – Saat ini, positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia sudah mendekati 15 persen atau meningkat dalam beberapa minggu terakhir.
Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta hal tersebut harus diwaspadai dan semaksimal mungkin dikendalikan.
Pasalnya, jika berkaca pada data sejak awal pandemi, positivity rate di Indonesia pernah mencapai puncak paling tinggi, sebesar 28,25 persen pada dua minggu pertama Januari 2021.
Meski begitu, Wiku Adisasmito meminta semua pihak bijak dalam melihat data positivity rate kasus Covid-19 agar tidak salah menafsirkan keadaan.
Berdasarkan data per minggu ke-3 Juni 2021, positivity rate di Indonesia mencapai angka 14,64 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang dipatok Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 5 persen.
“Rentang waktu 14 hari adalah yang paling efektif dalam penentuan langkah intervensi kebijakan selanjutnya, karena rentang yang terlalu singkat atau terlalu lama seperti harian atau dua bulanan dapat mengaburkan situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan,” jelas Wiku dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (24/6/2021).
Baca juga: UPDATE: 141.187 Spesimen Diperiksa, Positivity Rate Versi PCR Capai 49,07 Persen
Satgas menjelaskan, karena positivity rate ditentukan dari jumlah orang yang diperiksa, maka ada beberapa kondisi yang memengaruhi akurasinya. Salah satunya terbatasnya sumber daya dan akses pada fasilitas tes.
Hal itu karena penggunaan fasilitas tes diprioritaskan untuk yang sudah memiliki gejala atau kontak erat.
Dengan begitu, bukan tidak mungkin hasil tes cenderung menunjukkan positif Covid-19, karena sudah dikerucutkan pada kelompok orang yang memang memiliki gejala atau kontak erat.
“Di Indonesia, pada umumnya orang sehat tidak menjalani tes Covid-19, dan hal ini dapat mempengaruhi angka positivity rate menjadi tinggi”, ujar Wiku.
Terkait hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. HK.01.07/MENKES/446/2021 yang menetapkan penggunaan rapid test antigen sebagai salah satu metode dalam pemeriksaan Covid-19.
Baca juga: Satgas: Pandemi Covid-19 Hampir Mencapai Puncaknya
Melalui Kepmenkes itu diharapkan semakin banyak masyarakat yang mendapatkan akses uji Covid-19. Kebijakan skrining ini akan terus diperbarui sesuai kondisi yang ada dengan tetap mempertimbangkan kenyamanan masyarakat termasuk untuk mereka yang mobilitasnya tinggi.
“Tentu, ini mempertimbangkan antigen jauh lebih cepat dan murah, dengan akurasi mendekati tes polymerase chain reaction (PCR). Antigen digunakan untuk melacak kontak erat, penegakan diagnosis dan skrining Covid-19 dengan kondisi tertentu seperti menghadiri kegiatan atau sebagai syarat bila seseorang ingin melakukan perjalanan,” ungkap Wiku.
Satgas mengingatkan ada beberapa situasi yang dapat menurunkan efektivitas tes antigen, seperti penggunaan antigen yang tidak dikonfirmasi dengan tes PCR kepada orang dengan kemungkinan terinfeksi atau kontak erat.
Lalu juga, penggunaan antigen yang tidak sesuai mutu standar WHO dan pengambilan sampel swab yang tidak sesuai prosedur, seperti di sepertiga hidung anterior dapat berdampak pada penurunan efektivitas tes antigen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.