JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga pimpinan lembaga dan kementerian tentang pedoman kriteria implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pedoman ini ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, pada Rabu (23/6/2021), dengan disaksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Pedoman tersebut berisi delapan poin mengenai definisi dan syarat UU ITE yang berkaitan dengan peraturan perundangan lain.
Baca juga: Mahfud: Sambil Tunggu Revisi Terbatas, Pedoman UU ITE Diharapkan Bisa Maksimal Lindungi Masyarakat
Mahfud berharap pedoman ini dapat memberikan perlindungan secara maksimal kepada masyarakat.
"Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat," ujar Mahfud, Rabu.
Bukan norma hukum baru
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo mengatakan, pedoman kriteria implementasi ini bukan sebuah norma hukum baru.
"Jadi saya bilang, pedoman impelementasi ini bukan membuat norma hukum baru," ujar Sugeng dalam konferensi pers virtual, Kamis (24/6/2021).
Baca juga: Pemerintah Tegaskan Pedoman UU ITE Bukan Norma Hukum Baru
Sugeng menuturkan, pedoman kriteria implementasi hanya untuk memperjelas norma baru yang ada di UU ITE.
Di mana norma tersebut sebelumnya telah dimasukkan pemerintah dalam rencana revisi terbatas UU ITE.
"Norma barunya tentu kita coba masukkan di dalam revisi UU ITE-nya. Jadi inilah maksimal yang bisa kita lakukan," kata Sugeng.
Menurut Sugeng, pedoman kriteria implementasi ini akan dibagikan kepada aparat penegak hukum dalam bentuk buku saku.
Baca juga: Polri Pastikan SKB UU ITE Bakal Jadi Pedoman dalam Penanganan Perkara
Hal ini merupakan bagian dari penyebarluasan isi pedoman untuk memperkecil multitafsir terhadap UU ITE sebagaimana laporan yang disampaikan kelompok masyarakat sipil.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan sosialisasi pedoman kriteria implementasi dengan sasaran utamanya adalah penegak hukum.
Prioritaskan revisi UU ITE
Kendati demikian, kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah agar tetap memprioritaskan revisi UU ITE.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan sejumlah catatan terhadap pedoman implementasi UU ITE.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu secara khusus menyoroti pedoman terhadap Pasal 27 ayat (1), (3), (4), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE.
“ICJR melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan, namun masih terdapat catatan yang menjadi dasar kuat revisi UU ITE harus disegerakan,” kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Kamis (24/6/2021).
Baca juga: Pemerintah Didesak Prioritaskan Revisi UU ITE Kendati Telah Keluarkan Pedoman Implementasi
Pertama, ICJR menilai pedoman untuk Pasal 27 Ayat (1) masih membuka ruang kriminalisasi.
Meskipun dalam pedoman pasal ini telah merujuk Pasal 281-282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Pornografi yang mengatur bahwa pelanggaran yang dilakukan harus bersifat komersil atau untuk di muka umum.
Namun, ia menilai pasal itu masih berpotensi dapat menjerat orang per orang, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi, distribusi, membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum.
“Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korepondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum atau tidak untuk kebutuhan komersil,” ujar Erasmus.